Terdapat tiga tujuan dasar dari pengembangan partisipasi masyarakat, yakni pertama, bahwa partisipasi akan memungkinkan rakyat secara mandiri (otonom) mengorganisasi diri, sehingga memudahkan masyarakat menghadapi situasi yang sulit, serta mampu menolak berbagai kecenderungan yang merugikan. Kedua, suatu partisipasi tidak hanya menjadi cermin konkret peluang ekspresi aspirasi dan jalan memperjuangkannya, tetapi yang lebih penting lagi bahwa partisipasi menjadi semacam garansi bagi tidak diabaikannya kepentingan masyarakat. Ketiga, bahwa persoalan-persoalan dalam dinamika pembangunan akan dapat diatasi dengan adanya partisipasi masyarakat1.

Berbagai literatur juga menunjukkan bahwa partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi program pembangunan, tetapi makna substantif sebenarnya adalah menyuarakan (voicing), akses, dan kontrol. Voice adalah hak dan tindakan warga masyarakat dalam menyampaikan aspirasi terkait gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah. Akses adalah mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola kebijakan publik, termasuk di dalamnya akses warga terhadap pelayanan publik. Sedangkan kontrol adalah bagaimana masyarakat mau dan mampu terlibat untuk mengawasi jalannya kebijakan dan tugas-tugas pemerintah. Sehingga terbentuk suatu pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan responsif terhadap berbagai kebutuhan masyarakatnya.

Dengan mencermati pemikiran di atas dapat kita simpulkan bahwa partisipasi masyarakat yang aktif dan bermakna di sektor pertambangan setidaknya mensyaratkan empat aspek: 1) ketersediaan ruang aspirasi untuk menyampaikan pendapat; 2) ketersediaan saluran informasi untuk mempengaruhi dan mengelola kebijakan; 3) adanya kesadaran; dan 4) kemampuan untuk menjalankan pengawasan.

Dalam memenuhi empat aspek di atas, dibutuhkan enabling environment berupa perspektif pembangunan yang berpihak—yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan—serta komitmen dari berbagai pihak, yakni sisi masyarakat sendiri, negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif), pelaku usaha, serta kelompok-kelompok lain termasuk akademisi dan lembaga swadaya.

Sementara jika dilihat dari sumbernya, dukungan untuk mewujudkan empat aspek di atas terbagi menjadi dua komponen, eksternal dan internal. Eksternal adalah sesuatu yang berupa fasilitas sarana dan prasarana pendukung bagi peluang berpartisipasi, sedangkan internal adalah sesuatu yang ada dan tumbuh dari dalam masyarakat sendiri.

Ruang aspirasi dan saluran informasi masyarakat adalah sebuah komponen yang bersifat eksternal, yang disediakan oleh pihak luar berupa ruang-ruang ekspresi dan media informasi termasuk saluran pengaduan, tuntutan, dan koreksi terhadap kebijakan publik.
Ruang aspirasi dan keterbukaan informasi masih merupakan ranah abu-abu dalam proses penyelenggaraan pertambangan selama ini; bagian inilah yang disinyalir “melindungi” berbagai praktek penyelewengan dan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pertambangan yang hakikatnya sebagai pihak dalam memfasilitasi aspirasi dan kebutuhan informasi masyarakat2.

Sedang aspek kesadaran dan kemampuan merupakan komponen yang tumbuh dari proses internal masyarakat sendiri. Kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam pelaksanaan pembangunan sangat dipengaruhi oleh persepsi dan harapan-harapan mereka akan manfaat dari kegiatan pertambangan3. Pada kegiatan pertambangan, selain akan dihadapkan pada persoalan sikap pesimistis masyarakat dari pengalaman ketidakpekaan negara terhadap keluhan dan tuntutan mereka selama ini, juga persoalan minimnya pengetahuan yang tidak mampu mendorong kesadaran kritis mereka dalam memposisikan diri dalam kegiatan pertambangan di lingkungan mereka.

Kondisi ini telah membangun sikap masyarakat dalam memandang kegiatan pertambangan hanya dari kemanfaatan jangka pendek. Ditambah lagi persoalan komitmen perusahaan dalam menyikapi tuntutan masyarakat juga telah berkontribusi pada cara pandang mereka. Sebagai contoh, seringkali momentum penyaluran dana bantuan perusahaan terkesan reaktif dan langsung merespon aksi tuntutan oleh sebagian masyarakat, yang secara tidak langsung telah membangun pemahaman bahwa satu-satunya mekanisme komunikasi untuk mendapatkan simpati dari perusahaan adalah melalui cara yang sama. Hal ini tentu bukanlah sebuah edukasi yang baik bagi masyarakat dan pemangku kepentingan dalam menyelesaikan pangkal persoalan, dan justru membuat ‘langgeng’ persoalan tersebut.

Pada kasus lain, program corporate social responsibility (CSR) oleh perusahaan juga masih dimaknai sebagai santunan kepada masyarakat atas dampak yang diterima, sehingga tak jarang implementasi CSR semata-mata adalah program perusahaan dan masyarakat adalah objek CSR4.
Aspek kemampuan merupakan faktor fundamental yang menyangkut kesiapan masyarakat dalam melakukan pengawasan dan pengendalian terkait kebijakan yang menyangkut kepentingan mereka. Aspek ini sangat berpengaruh pada nilai tawar (bargaining) masyarakat pada proses perencanaan dan pengambilan keputusan oleh pihak luar (pemerintah atau perusahaan)5. Ini terlihat dari keberhasilan mereka mewujudkan sebuah kelembagaan masyarakat yang inklusif–yang mewakili kepentingan bersama yang berfungsi sebagai voice equalizer kepada pengambil kebijakan6.

Sejalan dengan semangat mewujudkan partisipasi masyarakat yang bermartabat dalam pembangunan, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan. Di antaranya adalah Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang secara umum bertujuan menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik7.

Selain itu, sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam mendorong keberdayaan dan kemandirian masyarakat di sekitar pertambangan, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 41 tahun 2016 yang mengatur pelaksanaan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) oleh badan usaha pertambangan sebagai kewajiban pertanggungjawaban sosial mereka8.

Perangkat kebijakan di atas menunjukkan komitmen pemerintah dalam menyediakan ruang aspirasi dan saluran informasi serta strategi dalam mendorong kesadaran dan kemampuan sebagai fondasi bagi partisipasi masyarakat lingkar tambang khususnya. Pekerjaan rumah yang perlu dikawal adalah bagaimana kebijakan yang sudah disusun dapat diterapkan secara efektif dan efisien. Kebijakan pemerintah yang dibuat tidak bisa serta-merta efektif dijalankan tanpa dukungan dan komitmen seluruh pihak9.

Sejalan dengan pemikiran ini, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bersama dengan Awrago dan tiga organisasi masyarakat sipil di Aceh, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara (GeRAK Aceh, POKJA-30, dan LePMIL) melaksanakan pelatihan bagi masyarakat lingkar tambang di ketiga provinsi di atas untuk memahami instrumen pengaduan; pengaduan ditempatkan sebagai salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam sektor pertambangan. Pelatihan ini menitikberatkan pada pemanfaatan SP4N-LAPOR!, yakni saluran pengaduan yang dikembangkan pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat dalam menyampaikan tuntutan dan pengaduan secara mudah dan tepat waktu kepada penyelenggara negara.

Kegiatan pelatihan pemanfaatan instrumen SP4N-LAPOR! yang dilakukan pada dasarnya merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Proyek Akuntabilitas Sosial Sektor Pertambangan yang dilaksanakan oleh PWYP Indonesia bersama mitra atas dukungan Global Partnership for Social Accountability (GPSA)-World Bank.

Adapun kegiatan lain yang juga menjadi agenda program di level masyarakat adalah kegiatan pendampingan langsung oleh mitra provinsi di lokasi desa-desa terpilih. Agenda pendampingan ini utamanya bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan di sektor pertambangan.

Referensi
1 Dadang, Juliantara. 2002. Pembaruan Desa: Bertumpu pada Apa yang Terbawa.
2 Gaventa, John. 2002. Kewargaan, Partisipasi dan Akuntabilitas (Sebuah Pengantar).
3 Carr, Stephen. 1992. Public Space.
4 PWYP. https://pwypindonesia.org/id/minimnya-partisipasi-masyarakat-dalam-pengelolaan-dampak-lingkungan-csr-di-sektor-tambang.
5 Hatifah Sj. Sumarto. 2004. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia.
6 Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas: dari Pemikiran Menuju Penerapan.
7 Republik Indonesia. 2008. Undang Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
8 Republik Indonesia, Kementerian ESDM. 2016. Permen No. 41 Tahun 2016 tentang Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM).
9 Thahir. Arifin, 2018. Kebijakan Publik dan Good Governance.