TEMPO.CO, Jakarta – Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif, memastikan penumpukan bauksit usai kebijakan pelarangan ekspor tidak akan terjadi. Adapun kebijakan larangan ekspor bauksit berlaku mulai 10 Juni 2023.

“Mungkin iya, tersisa. Tapi akan diupayakan untuk bisa diserap di smelter yang sudah beroperasi,” kata Irwandy dalam diskusi Untung Rugi Larangan Ekspor Mineral Mentah yang digelar virtual pada Senin, 12 Juni 2023.

Menurut Irwandy, produksi bauksit di Indonesia mencapai kurang lebih 31 juta ton pada 2023. Sementara yang terserap sekitar 13 hingga 14 juta. Artinya, ada kemungkinan tersisa hingga 18 juta ton karena perusahaan tidak lagi bisa mengekspor mulai 10 Juni 2023.

“Mereka bisa menjual jika smelter yang beroperasi bisa menambah kapasitas,” kata Irwandy. “Jadi, sangat bergantung pada penambahan kapasitas di empat smelter yang sudah beroperasi.”

Lebih lanjut, soal 7 proyek smelter yang belum jadi, Irwandy mengatakan perusahaan yang diber kelonggaran harus mengikuti aturan yang berlaku. Pertama, memberi jaminan 5 persen dari penjualan satu periode. Kedua, membayar bea keluar.

“Itu bagi mereka yang tidak memenuhi persyaratan, tentu kami akan melihat pada peraturannya dan itu akan diproses di Dirjen Minerba,” ujar Irwandy.

Adapun larangan ekspor bijih bauksit diumumkan Presiden Jokowi dua tahun usai memberlakukan larangan ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020.

Jokowi mengklaim kebijakan tersebut sudah meningkatkan nilai ekspor nikel dari Rp 17 triliun atau setara US$ 1,1 juta pada akhir 2014 menjadi Rp 326 triliun atau setara US$ 20,9 juta pada 2021. Jumlah tersebut meningkat 19 kali lipat.

Hal itu menjadi salah satu dorongan bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan serupa terhadap komoditas tambang lain, seperti bauksit. Bauksit yang diolah dan dimurnikan bisa menjadi alumina yang bernilai delapan kali lipat. Sementara alumina yang ditingkatkan menjadi aluminium bernilai hingga 30 kali lipat dibandingkan dengan bijih bauksit.

Sumber: TEMPO