Extractive Industries Tranparency Initiatives (EITI) merupakan inisiatif global yang diterapkan di 55 negara, termasuk Indonesia, untuk mendorong tata kelola sektor minyak, gas, dan pertambangan yang transparan dan akuntabel yang diterapkan di 55 negara, termasuk Indonesia. EITI hadir atas dasar keprihatinan terhadap pengelolaan sektor sumber daya ekstraktif di sejumlah negara yang belum optimal pada peningkatan taraf hidup masyarakat yang menyisakan persoalan lingkungan dan sosial. EITI bertujuan untuk mendorong adanya kolaborasi antar kelompok pemangku kepentingan dalam melakukan perbaikan tata kelola sektor ekstraktif. Pelaksanaan EITI di Indonesia diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2021 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang diperloleh dari Industri Ekstraktif dan selanjutnya diperbaharui melalui Perpres Nomor 82 tahun 2020 tentang Komite Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Dalam konteks tata kelola sektor pertambangan mineral dan batubara (Minerba), Indonesia tengah memasuki babak baru melalui pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 yang merupakan amandemen terhadap UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Salah satu dampak dari perubahan regulasi ini adalah penarikan kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan pertambangan, baik dalam aspek perizinan hingga pengawasan. Sementara itu, peraturan pelaksana yang menjadi mandat UU Nomor 3 Tahun 2020 juga tak kunjung diterbitkan. Hal ini menjadikan situasi tata kelola pertambangan berada di ruang abu-abu yang berpotensi menimbulkan sejumlah persoalan baru di lapangan.
Problematika tersebut juga dihadapi oleh Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), sebagai salah satu provinsi penghasil batubara terbesar di Indonesia. Misalnya, maraknya tambang ilegal yang luput dari pengawasan dan penindakan. Di satu sisi, hanya terdapat 30 inspektur tambang di Kalimantan Timur untuk melakukan pengawasan terhadap 430 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang beroperasi (KESDM, 2021). Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dan Pokja-30 bekerjasama dengan Sekretariat EITI Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Minerbal (ESDM) selenggarakan Forum Multi Pihak Sosialisasi Laporan EITI Indonesia: Akuntabilitas Sosial Kolaboratif untuk Perbaikan Tata Kelola Sektor Pertambangan di Provinsi Kalimantan Timur pada Rabu, 21 Juli 2021 secara daring. Kegiatan ini sekaligus menjadi forum diseminasi laporan EITI ke-8, sekaligus studi diagnosis persoalan tata kelola perizinan pertambangan yang dilakukan oleh PWYP Indonesia dan Pokja-30.
Kegiatan ini dimulai dengan pemaparan hasil scoping study PWYP Indonesia terkait diagnosa persoalan tata kekola perizinan pertambangan minerba oleh dimana temuannya juga menjelaskan mengenai persoalan tata kelola perizinan pertambangan di Aceh dan Indonesia secara umum. Rizky Ananda, Peneliti PWYP Indonesia menyampaikan temuannya, diantaranya adalah:
- Persoalan regulasi yang terdiri dari inkosistensi dan lemahnya penegakan regulasi.
- Terbatasnya personil, kewenangan dan anggaran yang berdampak pada persoalan kelembagaan.
- Aspek transparansi yang berkaitan dengan proses perizinan yang tertutup dan kendala dalam akses informasi.
- Partisipasi masyarakat yang lemah dan masih di tahap keterwakilan, akibat dari terbatasnya ruang yang tersedia dan kapasitas masyarakat yang lemah.
- Lemahnya fungsi kontrol dan koordinasi yang menjadi refleksi dari pelaksanaan desentralisasi perizinan pertambangan.
Selanjutnya, Sampe L. Purba, Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Sumber Daya Alam, yang juga Kepala Sekretariat EITI Indonesia menyampaikan perkembangan pelaksanaan EITI. Indonesia sendiri baru saja mempublikasikan laporan EITI Indonesia ke-81 untuk tahun anggaran 2018 yang cukup berbeda dengan laporan pada tahun sebelumnya dikarenakan dampak pandemi COVID-19, namun semangat transparansi industri ekstraktif tetap terjaga sebagai bentuk amanah yang telah diberikan. Laporan EITI 2018 atau flexible report ini tetap mengacu pada Standar EITI 2019 namun meniadakan kegiatan rekonsiliasi data. Implementasi standar pelaporan EITI di Indonesia terpengaruh dari kebijakan pemerintah dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Laporan ini berisi mengenai informasi kontekstual yang memberikan gambaran secara menyeluruh tentang kerangka hukum dan mekanisme tata kelola sektor migas dan minerba, jenis kontrak/perizinan dan proses lisensi, serta pembayaran-pembayaran dan skema hasil antara perusahaan dengan pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Serta informasi dampak Pandemi Covid-19 terhadap industri ekstraktif di Indonesia berupa dampak terhadap produksi dan penerimaan negara, upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 pada industri ekstraktif. Laporan ini juga memberikan informasi tentang alokasi dana Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) hingga tanggung jawab sosial perusahaan.
Menanggapi hal tersebut, Sunindyo Suryo Herdadi, Direktur Pembinaan Program Minerba, Direktorat Jenderal Minerba, KESDM, menyampaikan mengenai upaya dan inovasi yang telah dilakukan. Diantaranya, keterbukaan data perizinan tambang dimana publik dapat mengakses data izin tambang melalui MODI (Minerba One Data Indonesia); inovasi pembinaan pengawasan pertambangan dari harmonisasi regulasi antara UU Cipta Kerja 11/2020 dan UU Minerba 3/2020; inovasi perizinan online; dan integrasi sejumlah aplikasi. Terlepas dari upaya yang sudah dilakukan, diakui terdapat sejumlah tantangan dalam pengelolaan pertambangan ke depan. Diantaranya verifikasi izin yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dalam rangka peralihan kewenangan ke pusat, penerbitan IUP mineral bukan logam dan batuan, penataan pemegang izin yang tidak aktif, pertambangan tanpa izin (PETI), lubang bekas tambang juga hilirisasi.
Sementara itu, Azwar Busra, Kepala Bidang Pertambanga Minerba, Dinas ESDM Kaltim, berbagi persoalan (lapangan) yang dihadapi di Kaltim: data izin yang belum sinkron dengan pemerintah pusat dan maraknya PETI di daerah konsesi yang masih aktif sebagai dampak dari kinerja pengawasan yang belum optimal. Wilayah konsesi yang jauh dan terbatasnya jumlah inspektur tambang dan anggaran disebut sebagai penyebab persoalan pengawasan ini. Kebutuhan kolaborasi dengan masyarakat sipil juga disampaikan, utamanya berkaitan dengan pelaksanaan regulasi atau kebijakan di lapangan.
Perwakilan PERHAPI menekankan kegentingan persoalan regulasi di sektor pertambangan, termasuk inkonsistensi dan lemahnya penegakan hukum. Kebutuhan keterbukaan data, khususnya data cadangan dan prospek wilayah konsesi yang dilelang juga disampaikan. Sementara APBI menyoroti pentingnya penglibatan publik dalam membahas peraturan turunan dari UU Nomor 3 Tahun 2020, juga mengangkat praktik baik yang dilakukan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan sehingga narasi yang muncul ke publik lebih berimbang.
Perwakilan organisasi masyarakat sipil yang hadir menyampaikan sejumlah cataan. Diantaranya proses penanganan aduan terkait dampak pertambangan, dimana terdapat kecenderungan “lempar tanggungjawab” antar instansi dan penanganannya pun lambat. Juga tindak lanjut izin yang habis masa berlakunya, penegakan hukum terhadap PETI, penanganan lubang bekas tambang dan kinerja keterbukaan informasi belum optimal (publik membutuhkan informasi kepatuhan perusahaan juga dokumen AMDAL, tidak sekedar luas wilayah izin). Sementara, warga lingkar tambang diwakili oleh kelompok perempuan dari Desa Sungai Payang. Isu besar yang disampaikan warga adalah penanganan limbah akibat aktivitas pertambangan, pembebasan lahan, dan PETI.
Pada diskusi forum multi-pihak ini, seluruh pemangku kepentingan aktif dalam menyampaikan pendapatnya. Penyelenggara juga menanggapi dan mencatat keluhan yang disampaikan oleh peserta yang nantinya diharapkan dapat menjadikan sektor pertambangan di Kalimantan Timur lebih baik lagi.