Jakarta, CNBC Indonesia – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) membeberkan bahwa mayoritas investor pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di Indonesia berasal dari Negeri Tirai Bambu.

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan bahwa 99% investor untuk 53 pabrik pengolahan mineral mentah yang beroperasi dan tengah dibangun di Indonesia berasal dari China.

Meskipun, lanjutnya, ada juga investor dari negara lain seperti Amerika Serikat melalui Freeport McMoran dan Ford yang juga masuk menjadi pemegang saham di proyek smelter nikel berteknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.

“China memang lebih cepat (berinvestasi di Indonesia). 53 pabrik yang sudah berproduksi, 99% memang dari China. Kita juga bersyukur sudah ada dari Amerika masuk bulan lalu, Ford sudah masuk, ini selalu update setiap bulan,” jelasnya kepada CNBC Indonesia dalam ‘Mining Zone’, dikutip Selasa (11/4/2023).

Lantas, mengapa ini bisa terjadi? Mengapa “hanya” China yang bergerak cepat untuk berinvestasi di Indonesia?

Meidy menyebut, investor China lebih cepat dalam memutuskan untuk berinvestasi, terlebih bila Pemerintah Indonesia sudah menyediakan sejumlah insentif.

“Dengan adanya insentif, fasilitas, China memang lebih atraktif untuk masuk dan lebih cepat. Sebagai pengusaha saja kalau disuruh nego pilih negara, lebih cepat China dibanding negara lain tanpa ada ‘hal-hal lain’,” tambahnya.

Dia pun menjelaskan, lebih cepatnya keputusan China untuk berinvestasi karena negara ini mendahulukan kepastian ketersediaan bahan baku. Ketika ada negara yang memiliki kepastian bahan baku, maka investor Negeri Tirai Bambu tersebut tak ragu untuk berinvestasi.

“China lebih atraktif dan bagi China, selama bisa menguasai (bahan baku) urusan lainnya belakang, yang penting bahan bakunya (tersedia). Karena apa pun industrinya, kalau nggak menguasai bahan baku, mending pulang saja deh,” tandas Meidy.

Di lain sisi, Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional Bara Krishna Hasibuan mengungkapkan bahwa sebenarnya Indonesia tetap terbuka kepada seluruh investor asing yang bersedia menanamkan modal untuk hilirisasi di Indonesia.

“Jadi kita terbuka dari negara manapun kita akan welcome, investor yang juga siap melakukan usaha sesuai dengan prinsip kita ketentuan yang dimiliki oleh Indonesia,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.

Selain itu, dia juga mengatakan bahwa Indonesia tidak memberikan perlakuan khusus terhadap investor dari China. Bara menilai, banyaknya investor dari China merupakan ketertarikan tersendiri dari negara tersebut untuk berinvestasi di Indonesia.

“Jadi kita tidak punya preferensi terhadap negara tertentu misal. Kalau pun memang misal banyak investor dari Tiongkok, saya pikir memang mereka memberikan interest yang lebih. Saya pikir tidak apa-apa, bukan berarti kita berikan perhatian khusus semacam treatment kepada Tiongkok, kan tidak juga,” tandasnya.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah menargetkan 53 smelter mineral beroperasi hingga 2024 mendatang. Dari 53 smelter tersebut, mayoritas merupakan smelter nikel mencapai 30 proyek, lalu smelter bauksit 11, smelter tembaga 4, smelter besi 4, smelter mangan 2, dan smelter timbal dan seng 2.

Sumber: CNBC Indonesia