KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia makin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertambangan dan penggalian memberi kontribusi sebesar 12,22% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional 2022,
Ini meningkat dari kontribusi sektor tersebut ke pertumbuhan tahun 2021 yang sebesar 8,98% dan kontribusi ke pertumbuhan 2020 yang sebesar 6,44%. Sebaliknya, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia makin menurun dalam kurun waktu yang sama.
Kontribusi industri pengolahan ke pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 sebesar 18,34%. Ini lebih rendah daripada kontribusi tahun 2021 yang sebesar 19,25% dan tahun 2020 yang sebesar 19,88%.
Padahal, industri pengolahan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi selama ini.
Meskipun ada dinamika tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memandang, kontributor pertumbuhan ekonomi masih akan tetap dari sektor industri pengolahan. Dengan kata lain, sektor pertambangan dan penggalian tidak dengan mudahnya menggeser posisi industri pengolahan.
“Peningkatan kontribusi sektor pertambangan dan penggalian hanya temporer. Tahun ini diperkirakan terjadi normalisasi komoditas karena resesi global,” tegas Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (7/2).
Nah, penurunan porsi industri manufaktur di kurun waktu yang sama dengan peningkatan porsi sektor pertambangan dan penggalian memang seiring dengan peningkatan harga komoditas primer di pasar internasional.
Dengan profil perekonomian Indonesia sekarang, Bhima melihat masih terlalu dini Indonesia melakukan deindustrialisasi atau kondisi industri tidak lagi berperan sebagai basis pendorong utama perekonomian. Indonesia masih membutuhkan lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
“Fenomena deindustrialisasi kalau terus dibiarkan akan memicu krisis lapangan kerja, karena manufaktur adalah salah satu sektor dengan tingkat serapan tenaga kerja yang besar,” kata Bhima.
Dengan demikian, ia memandang perlu langkah otoritas untuk memperkuat industri pengolahan dalam negeri dengan beberapa cara. Pertama, reorientasi pasar ekspor hasil pengolahan, terutama menyambut dibukanya ekonomi China serta melakukan penetrasi ke pasar ASEAN.
Rata-rata negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Thailand masih membukukan perkiraan ekonomi yang positif di tahun 2023. Namun, perlu diingat, reorientasi pasar membutuhkan strategi yang berbeda dari segi jaringan distribusi hingga tipe dan kategorisasi produk yang ditawarkan.
Kedua, melakukan variasi produk sesuai daya beli konsumen di dalam negeri. Salah satunya, bisa dengan memproduksi barang dengan harga yang lebih terjangkau.
Ketiga, pemerintah baiknya memformulasikan paket kebijakan khusus untuk industri manufaktur. Seperti, diskon tarif listrik, insentif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk bahan baku, dan program suku bunga rendah untuk industri padat karya.
Keempat, melakukan pembatasan impor barang jadi untuk perlindungan pasar dalam negeri melalui kebijakan non tarif. Jangan sampai, produk industri pengolahan dalam negeri malah kalah dengan produk dari luar negeri.