Jakarta – Pemerintah tengah mendorong hilirisasi batu bara alias gasifikasi di Indonesia, salah satunya lewat proyek gasifikasi batu bara Dimethyl Ether (DME) PT Bukit Asam di Kawasan Industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Hanya saja, proyek tersebut mengalami kendala hingga mandek dalam setahun terakhir.

Juru Kampanye Energi Trend Asia Novita Indri Pratiwi mengatakan, mandeknya proyek gasifikasi batu bara ini telah diperkirakan sejak awal oleh pemerhati lingkungan. Ia menyebut, nilai manfaat proyek tidak sebanding dengan nilai investasi yang dikeluarkan dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

“Alih-alih mendapatkan pertambahan nilai melalui gasifikasi batu bara, proyek ini justru berpotensi merugikan negara dan memperparah kondisi lingkungan yang sudah rusak. Juga tampak jelas bahwa proyek ini hanya jadi dalih perpanjangan penggunaan energi kotor seperti batubara,” kata Novita dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (12/3/2023).

Adapun alasan mandeknya proyek ini sempat diungkapkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yakni karena badan usaha terkait belum sepakat soal hitung-hitungan investasi dan untung rugi proyek.

Badan usaha yang terlibat antara lain PT Pertamina sebagai offtaker (pembeli), PT Bukit Asam Tbk, dan Air Products and Chemical Inc (APCI). Adapun total investasi proyek mencapai US$ 15 miliar.

Menurutnya, kendala kesepakatan keuangan akan membuat pemerintah terpaksa turun tangan mengucurkan bantuan-bantuan. Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diberitakan akan segera menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) agar perusahaan terlibat tidak mengalami kerugian dalam menjalankan bisnisnya.

“Hal ini makin mempertegas bahwa dari awal proyek ini tidak layak dan hanya mengutamakan kepentingan bisnis,” ujarnya.

Ia menambahkan, berbagai kemudahan dan insentif juga telah diberikan bagi perusahaan yang melakukan penambahan nilai dengan menghilirisasi batubara melalui UU Minerba dan Perppu Cipta Kerja.

“Jika kepastian subsidi ini akan diatur dalam Perpres khusus, maka hal ini menunjukkan pemerintah Indonesia tidak mampu menentukan skala prioritas di mana dana publik seharusnya bisa dialihkan untuk kebutuhan pendanaan transisi energi bersih terbarukan yang masih sangat minim,” katanya.

Kondisi ini sebelumnya telah diproyeksikan oleh Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) melalui laporannya pada 2020 silam yang menyatakan proyek ini tidak layak karena tidak memiliki nilai keekonomian.

Tidak hanya itu, berdasarkan hasil analisisnya, proyek gasifikasi batu bara DME ini akan menimbulkan utang baru sebesar US$ 2 miliar. Termasuk juga akan merugikan negara sebesar US$ 377 juta per tahunnya atau setara Rp 5,43 triliun per tahun.

Nilai kerugiannya jauh lebih besar dibandingkan nilai penghematan impor LPG sebesar US$ 19 juta atau setara Rp 273,7 miliar, yang diklaim pemerintah Indonesia untuk menjustifikasi pembangunan proyek ini. Potensi angka kerugian ini akan bertambah mengingat selain PTBA, proyek gasifikasi batubara juga akan dijalankan oleh PT Adaro Energy, PT Indika Energy, dan PT Batulicin Enam Sembilan.

Selain itu, wajib pajak Indonesia juga akan membayar lebih mahal untuk energi yang lebih sedikit. Sebab, menurut kalkulasi IEEFA, total biaya produksi DME sebesar US$ 470 per ton hampir dua kali lipat lebih besar dari biaya produksi LPG sebesar US$ 365 per ton.

“Jadi bukannya membawa manfaat bagi negara, proyek hilirisasi ini justru akan memberi beban finansial besar bagi keuangan negara,” ujar Novita.

Tidak hanya secara ekonomi, proyek gasifikasi batubara juga merusak lingkungan. Laporan AEER pada 2020 silam mengungkap, jika proyek beroperasi maka akan menghasilkan emisi lima kali lebih banyak, 4,26 juta ton CO2-eq per tahun, dibandingkan proses pembuatan LPG dengan kapasitas sama, 1,4 juta ton per tahun.

“Upaya Indonesia dalam mencapai Perjanjian Paris, menekan laju emisi dan transisi energi berkeadilan akan terhambat dengan proyek nilai tambah semu seperti gasifikasi,” pungkasnya.

Sebagai tambahan informasi, persoalan ini tengah mendapat perhatian khusus dari Presiden Jokowi. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.

Bahlil mengatakan, Jokowi meminta adanya percepatan pengembangan proyek gasifikasi batu bara menjadi dymethil ether (DME). Proyek DME digadang-gadang akan bisa menjadi pengganti gas LPG. Arahan Jokowi disampaikan dalam rapat terbatas yang dilakukan hari ini di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.

“Bapak Presiden memerintahkan kami untuk melakukan percepatan, ini adalah bagian dari mengoptimalkan batu bara low calories untuk DME kita. Karena kita tahu kita masih impor sekitar 6-7 juta ton (gas LPG) per tahun dan perlahan kita akan kurangi impor dari subtitusi DME,” sebut Bahlil ditemui di Kawasan Kepresidenan, Selasa (7/3/2023).

Bahlil mengungkapkan masalah yang terjadi pada proyek ini adalah lamanya pembentukan Peraturan Presiden (Perpres) yang menugaskan PT Bukit Asam dalam proyek ini. Perpres itu juga akan berisikan dukungan pemerintah agar proyek ini tetap menguntungkan untuk dijalankan oleh Bukit Asam.

Dia melanjutkan masih ada perhitungan tentang harga karbon yang masih mesti dilakukan. Meski begitu, dia menegaskan Perpres penugasan gasifikasi batu bara akan segera selesai dan proyek DME Bukit Asam bisa segera dilanjutkan.

Ketika disinggung soal proyek DME kurang menguntungkan bagi Bukit Asam, Bahlil bilang sampai saat ini perhitungan masih dilakukan. Namun, semuanya masih dalam koridor yang baik.

“Dalam bisnis ada untung rugi lah, dan memang bisnis itu hitungannya untung rugi dan tidak mungkin hitung yang lain tapi semua dalam koridor nanti saya akan sampaikan hasilnya kalau sudah selesai,” tegas Bahlil.

Sumber: https://finance.detik.com/energi/d-6614818/seberapa-efektif-aturan-baru-jokowi-atasi-proyek-dme-yang-mandek