Pemerintah resmi memberikan insentif royalti batu bara 0 persen bagi perusahaan yang mengembangkan dan memanfaatkan (hilirisasi) batu bara di dalam negeri. Hal ini tercantum dalam Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Perppu ini menambahkan Pasal 128A dalam UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020, yakni mengatur perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara untuk pemegang IUP atau IUPK yang melakukan pengembangan dan/atau pemanfaatan batu bara.
“Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan Pengembangan dan/ atau Pemanfaatan Batubara dapat berupa pengenaan iuran produksi/royalti sebesar 0%,” dikutip dari salinan Perppu Cipta Kerja yang diterima kumparan, Rabu (4/1).
Pengamat Energi Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, menilai kebijakan tersebut sangat positif untuk memberikan kepastian pengembangan hilirisasi batu bara untuk kepentingan di dalam negeri.
“Karena memang selama ini batu bara itu hanya menjadi komoditas yang dikeruk, diangkut, dan diekspor sebagian besar, dengan adanya kebijakan hilirisasi batu bara ini maka dapat dijadikan sebagai produk yang memiliki nilai tambah,” jelasnya kepada kumparan, Rabu (4/1).
Ahmad melanjutkan, produk hilirisasi batu bara misalnya berupa gasifikasi, batu bara cair atau coal liquidfaction, kokas batu bara, hingga dimetil eter (DME) yang bisa menjadi produk untuk mengurangi beban impor LPG.
Dia menyebutkan, kegiatan hilirisasi batu bara ini penting karena mendukung peningkatan nilai tambah untuk mendukung pembangunan nasional, di mana selama ini batu bara cenderung merupakan komoditas ekspor.
“Dengan hilirisasi ini juga akan ada peningkatan penerimaan negara karena ada dari pajak, PNBP, termasuk pajak daerah. Lalu terbangunnya industri ini maka akan ada penambahan tenaga kerja sesuai spirit Perppu Cipta Kerja,” tuturnya.
Lebih lanjut, Ahmad berkata, insentif royalti batu bara ini juga dapat mendukung pengembangan kawasan industri yang dapat memberikan multiplier effect kepada ekonomi nasional, termasuk menekan pengeluaran negara melalui produk substitusi LPG.
Dengan insentif ini pula, menurut dia, harga produk hasil hilirisasi batu bara juga bisa semakin terjangkau. Hal ini mengingat kebutuhan investasi industri ini memakan biaya yang sangat besar, sudah sepatutnya dibantu oleh negara.
“Royalti 0 persen itu saya kita perlakuan yang fair kepada pelaku usaha agar mereka diberikan insentif untuk mengembangkan laba usaha mereka agar tercipta industri hilirisasi batu bara,” kata Ahmad.
Di sisi lain, kesempatan pengusaha batu bara untuk berkontribusi dan memberikan andil dalam proses transisi energi juga semakin terbuka lebar dengan mengurangi pasokan batu bara untuk pembangkit listrik.
“Batu bara selama ini dianggap energi kotor tidak ramah lingkungan digunakan sebagai bahan baku pembangkit dan industri, maka tentu akan terjadi transisi energi sesuai kebijakan energi nasional menekan penggunaan batu bara bagi kepentingan pembangkit,” tutup Ahmad.