Jakarta – Pemerintah menargetkan dapat memproduksi minyak hingga 1 juta barel per hari pada 2030 nanti. Namun demi mencapai target tersebut, Indonesia masih kekurangan alat bor (rig) sehingga potensi minyak dan gas (migas) masih belum tergarap optimal.
Kondisi ini diungkapkan oleh Kepala Divisi Pengeboran dan Sumuran SKK Migas, Suryo Widyantoro dalam acara 4th International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas (ICIOG). Meski alat masih terbilang kurang, pihaknya telah memetakan kebutuhan pengadaan hingga tahun 2030 mendatang.
“Dari mulai 2023 kita punya 2.177 sumur, offshore ada 92, swamp-nya ada 85, sumur offshorenya 808. Sehingga dari semua itu kita butuh total rig offshore, swamp untuk offshore ada 120,” ujarnya, Nusa Dua Bali, Kamis (21/9/2023).
“Lihat tahun depan untuk rig offshore kita masih butuh 18 wheels. Eksisting kita sekarang kira-kira ada 14 rig yang sudah beroperasi, offshore. Kita masih kurang 4 rig lagi untuk offshore,” tambahnya.
Suryo mengatakan, untuk target pengadaan di 2024 mendatang dibutuhkan sekitar 107 rig. Sementara hingga saat ini saja, jumlahnya masih berada di bawah angka 100. Padahal, peningkatan permintaan rig tujuannya meningkatkan aktivitas RI demi tercapainya target 1 juta barel per hari.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI) Rio Dasmanto mengatakan, tantangan besar khususnya terjadi dalam penyediaan jack up rig.
“Sudah 92% jack up terpakai, sisanya 8%. Kami akan bermitra dengan salah satu rig provider besar, PDSI akan main di offshore tahun depan,” katanya, dalam momentum yang sama.
Mendukung pernyataan tersebut, Head Department of PSC Procurement SKK Migas Djoko Budiyanto mengatakan, kemampuan suplai rig belum sesuai dengan demand atau kebutuhannya. Di tahun 2022 lalu, Indonesia punya sebanyak 10 unit jump up rig. Namun pada tahun ini, jumlahnya hanya 6.
“Dulu kita banyak bor sumur, saat ini yang ada rig mungkin dibawah 50% aktif. Unit PDSI sudah habis (terpakai), kata Djoko.
Atas kondisi ini, perlu dicari solusi untuk memenuhi kebutuhan rig sehingga produksi migas bisa dioptimalkan. Djoko menyebut, ada tiga solusi yang bisa dilakukan, antara lain menjalin kontrak jangka panjang alias long term contract, join procurement, dan farm in contract.
“Strateginya gunakan long term contract. Tapi pasar jack up nggak mau long term. Ini harus temukan strategi paling pas untuk menunjang drilling program,” katanya.
Sementara untuk join procurement, menurutnya menjalin kontrak bersama pihak lain sebaiknya dilakukan sejak awal penjadwalan sehingga tidak menimbulkan konflik di kemudian hari.
“Farm in merupakan solusi jangka pendek. Untuk program yang sulit dapatkan rig. Saat ini sudah dilakukan di beberapa PSC (Production Sharing Contract),” pungkasnya.
Sumber: Detik Finance