Jakarta, CNBC Indonesia – Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) periode 2005-2013 Pascal Lamy turut buka suara, terutama perihal kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang mendapat protes keras dari Uni Eropa dengan menggugat Indonesia di WTO.

Menurut dia, Pemerintah Indonesia sejatinya mempunyai beberapa alasan untuk melarang ekspor bijih nikel ke luar negeri. Misalnya, karena sebagai upaya untuk melindungi lingkungan dengan membatasi kegiatan eksploitasi secara berlebihan atau untuk mengamankan pasokan dalam negeri.

“Tergantung apakah ini dianggap sebagai tindakan melindungi lingkungan dengan kata lain eksploitasi berlebihan jika tambang mengarah pada konsekuensi lingkungan negatif dalam hal ini ada alasan melakukan itu atau apakah itu untuk melindungi produsen dalam negeri. Dalam hal ini lebih seperti proteksionisme di mana kita melindungi produsen dalam negeri dari persaingan,” jelasnya dalam program Mining Zone CNBC Indonesia, dikutip Selasa (21/2/2023).

Di sisi lain, ia menyadari proses pengajuan banding Indonesia atas keputusan panel WTO terkait kebijakan larangan ekspor nikel kemungkinan tidak berjalan mulus lantaran Amerika Serikat keluar dari Badan Sengketa WTO. Namun ia meyakini Indonesia dan Uni Eropa akan tetap menyelesaikan sengketa ini dengan sebaik-baiknya.

“AS sudah keluar dari fase penyelesaian sengketa WTO. Kabar baiknya negara seperti Indonesia dan Uni Eropa masih menerapkan disiplin dan proses ajudikasi, saya pikir ini adalah proses penyelesaiannya,” ucapnya.

Seperti diketahui, atas gugatan Uni Eropa terkait kebijakan larangan ekspor bijih nikel RI, panel akhir Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) WTO pada Oktober 2022 lalu telah menyatakan Indonesia kalah dalam gugatan ini.

Kekalahan ini tertuang dalam hasil putusan panel WTO yang dicatat dalam sengketa DS 592. Adapun final panel report tersebut sudah keluar pada tanggal 17 Oktober 2022.

Meski demikian, pemerintah mengaku tidak akan menyerah. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyampaikan Pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk melanjutkan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah sebagai upaya peningkatan nilai tambah di dalam negeri, utamanya melalui hilirisasi di berbagai sektor potensial termasuk hasil tambang dan olahannya.

Hal tersebut merespons perlakuan Uni Eropa ke Indonesia terkait dengan larangan ekspor bijih nikel RI yang memicu gugatan Eropa ke WTO.

Zulkifli mengatakan pemerintah secara resmi telah mengajukan banding atas putusan WTO pada 8 Desember 2022 lalu, yang menyatakan kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi nikel melanggar aturan perdagangan internasional.

Namun, Indonesia dan Uni Eropa masih menunggu terbentuknya hakim oleh Badan Banding WTO yang saat ini belum ada lantaran terdapat blokade pemilihan Badan Banding oleh salah satu Anggota WTO yakni Amerika Serikat.

“Dengan adanya blokade tersebut, sudah ada 25 kasus banding yang menunggu antrian untuk berproses (litigasi) di Badan Banding WTO,” ujar Zulhas kepada CNBC Indonesia, Senin (13/2/2023).

Meski demikian, Pemerintah Indonesia dan kuasa hukum telah menyiapkan argumen untuk menguji keputusan panel awal yang dianggap keliru dalam menginterpretasikan aturan WTO. Pasalnya, Indonesia meyakini kebijakan hilirisasi tidak melanggar komitmen Indonesia di WTO dan Indonesia akan tetap konsisten dengan aturan WTO.

Menurut Zulhas, kebijakan peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi menuju mata rantai nilai yang lebih tinggi akan tetap menjadi prioritas, terutama untuk memastikan keberlanjutan pembangunan nasional menuju Indonesia 2045.

“Untuk itu pemerintah siap untuk melakukan pembelaan atas sektor ataupun produk Indonesia dan mengamankan dari sisi akses pasar Indonesia di pasar global,” katanya.

Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20230221174126-4-415764/ri-kalah-dari-eropa-soal-nikel-mantan-pejabat-wto-buka-suara