KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Peraturan soal relaksasi ekspor mineral saat ini tengah dibahas serius oleh pemerintah. Hal ini untuk mengakomodir perusahaan mineral tembaga, timah dan bauksit yang tengah membangun smelter.

Informasi yang diperoleh KONTAN menerangkan beberapa petinggi perusahaan mineral bulan lalu sudah dipanggil ke kantor Kementerian ESDM untuk memaparkan progres smelter dan kemungkinan adanya bea ekspor tambahan yang dikenakan sebagai kompensasi perpanjanan ekspor setelah Juni 2023.

Dasar hukum relaksasi yang akan diterbitkan bisa berupa Perppu atau PP. Sementara para pengusaha tersebut mayoritas tidak keberatan atas pengenaan pajak ekspor tambahan ketimbang ekspor berhenti dan tidak bisa melanjutkan proyek smelter.

Saat ini petambang sudah dikenakan bea keluar ekspor mineral. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 13/PMK.010.2017 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar.

Bea keluar untuk konsentrat sebesar 7,5% dikenakan apabila perkembangan smelter antara 0%-30%. Selanjutnya untuk 30%-50% bea keluarnya sebesar 5%. Bagi yang telah membangun antara 50%-75%, bea keluarnya kembali diturunkan menjadi 2,5%. Jika telah di atas 75%, maka tidak dikutip bea keluar.

Plh Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Djoko Widajatno mengusulkan agar penyetopan ekspor dilakukan secara bertahap, disesuaikan kemampuan penyerapan hasil penyerapan hilirisasi komoditas di dalam negeri.

“Selama ini Industri dasar logam dalam negeri belum dapat mengolah hasil hilirisasi Tambang. Bentuknya relaksasi sebaiknya Perppu untuk memperkuat posisi pemerintah yang baru menyelesaikan masàlah Covid yang membutuhkan perhatian,” kata Djoko ke KONTAN, Senin (13/2).

Pelaksana Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), Ronald Sulistyanto menilai bahwa kebijakan relaksasi ekspor mineral perlu diterapkan, sebab kapasitas pengolahan bijih bauksit di dalam negeri masih terbatas.

Ia mencatat, saat ini pengolahan bijih bauksit di dalam negeri terdiri atas Smelter Grade Alumina (SGA) dengan total kapasitas input 12 juta ton per tahun dan smelter Chemical Grade Alumina (CGA) dengan total kapasitas input 1-2 juta ton per tahun.

Dengan demikian, fasilitas pengolahan bijih bauksit di dalam negeri baru mampu menyerap 13 juta – 14 juta ton bijih bauksit per tahun, sementara total produksi bijih bauksit di dalam negeri bisa berkisar 60 juta ton dalam setahun.

“Kalau pemerintah enggak melakukan relaksasi ekspor ya namanya pemerintah membutakan mata atau membunuh semua pengusaha bauksit. Kalau itu dibunuh pelan-pelan ya pasti ada pengangguran, ada macam-macamlah,” ujar Ronald saat dihubungi KONTAN, Senin (13/2).
Ia berujar, asosiasi tidak merasa keberatan kalapun pemerintah memungut “setoran tambahan” dalam kebijakan relaksasi ekspor.

Namun, ia meminta agar pemerintah memerhatikan kondisi kahar yang diakibatkan pandemi Covid-19 dan tidak semata menjadikan kemajuan fisik proyek smelter sebagai tolak ukur dalam menentukan besarnya tagihan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) Jabin Sufianto mengungkapkan, pelaku usaha tetap berharap agar hilirisasi dapat dilakukan secara bertahap.

Ini sesuai dengan kajian-kajian yang dibahas Pokja serta kondisi lapangan dimana industri penyerap belum siap.”Sepertinya pemerintah sedang mempelajari usulan-usulan dari Pokja sehingga hilirisasi akan berjalan baik. Saya justru sedang menunggu undangan atau kelanjutan pembahasan hilirisasi ini,” kata Jabin ketika dihubungi KONTAN, Senin (13/2).

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Rizal Kasli Saat ini pemerintah sedang menghitung untung rugi dan skema pengedaan denda apabila smelter tidak selesai di Juni 2023. Adapun ekspor konsentrat tembaga tetap diberikan kepada perusahaan yang memproduksi konsentrat tembaga.

Ia bilang penghentian ekspor tentu saja akan mengurangi pendapatan perusahaan (cashflow) untuk sementara, sampai pembangunan semlter selesai dibangun dan beroperasi. “Namun di satu sisi Pemerintah juga memerlukan devisa dan pendapatan negara lainnya seperti pajak, royalti, dan lain-lain untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif memastikan bahwa pemerintah bakal tegas menjalankan kebijakan larangan ekspor komoditas mineral mentah tahun ini.

Menurutnya, hal tersebut merupakan mandat dari undang-undang mineral dan batubara (minerba). “Waktu itu kan sudah sejak tahun 2018 dikasih waktu sampai 2023. Nah ini kita lihat tahun ini itu dipenuhi atau enggak, kalau enggak dipenuhi ya enggak boleh ekspor,” ujar Arifin.

Sumber: https://industri.kontan.co.id/news/relaksasi-ekspor-mineral-lagi-dibicarakan-serius-pengusaha-tambang-terbitkan-perppu