Peraturan Pemerintah (PP) No. 79/2014 dan Peraturan Presiden No. 22/2017 menetapkan di tahun 2025 Indonesia harus mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23 persen dari energi primer. Terlepas dari target yang cukup ambisius tersebut perkembangan energi terbarukan berlangsung lambat. Bauran energi terbarukan hanya bertambah 0,55 persen per tahun selama beberapa tahun terakhir. Padahal setidaknya harus tumbuh 2-3 persen untuk mencapai target yang ditetapkan.
Di tahun 2022, Kementerian ESDM mentargetkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi primer mencapai 15,7 persen, dan penambahan pembangkit energi terbarukan sebesar 335 MW dari PLTS Atap dan 648 MW dari pembangkit lainnya. Adapun investasi energi terbarukan ditergetkan mencapai USD 3,9 miliar.
Laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023 dari IESR menemukan bahwa pertumbuhan bauran energi terbarukan dari total energi primer justru mengalami penurunan dari 11,5 persen di 2021 menjadi 10,4 persen di 2022. Pada kurun waktu yang sama bauran batubara terus naik dari 39 persen menjadi 43 persen.
Sejak 2020, pertambahan bauran energi terbarukan mengandalkan penambahan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan. Setelah berhasil dengan B30, penambahan bahan bakar nabati (BBN) relatif stagnan karena penundaan implementasi B40. Penundaan terjadi karena kenaikan harga minyak sawit dan penurunan konsumsi BBM akibat pandemi Covid-19.
IETO memperkirakan pencapaian investasi tahun ini hanya USD 1,4 miliar atau 35 persen dari target. Investasi energi terbarukan sejak 2018 target investasi energi terbarukan tidak pernah tercapai. Sepanjang lima tahun terakhir, mengutip Indonesia Sustainable Finance Outlook 2023, rata-rata investasi energi terbarukan hanya mencapai USD 1,6 milyar per tahun atau 20 persen dari total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target bauran 23 persen di 2025 (IESR, 2022)
Apa yang menyebabkan target bauran dan investasi tidak terpenuhi? Pertama, adanya keterlambatan implementasi sejumlah proyek energi terbarukan yang ada di RUPTL. Salah satu yang mundur adalah rencana didieselisasi oleh PLN yang tahun ini ditargetkan 212 MW tapi belum ada satupun yang rampung akibat tertundanya lelang. Sejumlah per
Kedua, terkendalanya pembangunan PLTS Atap skala besar akibat pembatasan kapasitas 10-15 persen yang dilakukan oleh PT PLN sejak awal tahun ini. Andaikan target Kementerian ESDM tercapai, ada tambahan USD 350 juta investasi yang mengalir. Dengan pembatasan oleh PLN diperkirakan hanya 20 persen target kapasitas terpasang PLTS Atap yang bisa dicapai hingga akhir tahun ini.
Ketiga, secara keseluruhan iklim investasi energi terbarukan kurang menarik. Persepsi Presiden yang menganggap energi terbarukan mahal dan tidak kompetitif ketimbang fosil merupakan cerminan buruknya iklim investasi tersebut. Presiden lupa bahwa selama ini energi fosil murah karena mendapatkan subsidi, mulai dari concessional finance untuk pembangunan pembangkit sampai dengan subsidi harga energi primer lewat kebijakan DMO dan subsidi harga listrik. Hal inilah yang membuat energi terbarukan gagal bersaing dan selalu dituntut dapat lebih murah dari energi fosil yang disubsidi sehingga bisa dibeli oleh PLN, yang akhirnya mengorbankan kelayakan ekonomi dan finansial proyek sehingga menjadi tidak bankable.
Selain mengalami kondisi pasokan berlebih yang menyebabkan PLN mengerem laju energi terbarukan, pengundangan kerangka regulasi pendukung tertunda cukup lama. Salah satunya adalah keterlambatan Peraturan Presiden No. 112/2022 yang baru terjadi pada September 2022, padahal diharapkan keluar akhir tahun lalu. Perpres ini digadang-gadang memberikan kepastian investasi yang lebih baik kepada pembangkit energi terbarukan karena ketentuan harga listriknya jauh lebih baik dari ketentuan Perpres No. 50/2017 yang dikenal sebagai “renewable killer”. Keterlambatan ini sedikit banyak membuat minat investor menurun, ditambah lagi dengan mundurnya pelelangan pembangkit PLN.
Lalu bagaimana kondisi di 2023? Ada sejumlah sentimen positif yang dapat mempengaruhi prospek pertumbuhan dan investasi energi terbarukan tahun depan. Pertama, komitmen pemerintah untuk meningkatkan energi terbarukan tampaknya semakin kuat dan urgensi untuk mengejar target 23 persen di 2025. Adanya persetujuan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang disepakati oleh Indonesia dan IPG di perhelatan G20 lalu yang mentargetkan puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2e dan target bauran energi terbarukan 34 persen di 2030. JETP yang dimaksudkan mempercepat transisi energi membuat pemerintah, PLN dan seluruh pemiliki wilayah usaha kelistrikan diharapkan membangun pembangkit energi terbarukan lebih agresif dengan dukungan pendanaan murah.
Kedua, pencapaian target 23 persen akan dikejar melalui optimalisasi pengoperasian pembangkit energi terbarukan yang sudah terjadwal di RUPTL PLN dan di luar PLN, serta pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN). Dengan adanya penetapan B35, volume BBN tahun depan akan meningkat menjadi 13,1 juta kilo liter, naik 2,1 juta kilo liter dari target 2021. Pada pembangkitan listrik, selain penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan dari proyek yang tertunda tahun ini, program co firing PLN diperkirakan mencapai 2,2 juta ton biomassa yang dapat mensubstitusi 1,5 persen volume batubara tahun depan, akan menambah porsi bauran energi terbarukan.
Ketiga, permintaan pembangkit energi terbarukan dari industri semakin meningkat membuat inisiatif industri untuk mendapatkan pasokan energi terbarukan secara langsung meningkat. Sejumlah industri padat energi seperti semen, pemurnian dan pengolahan mineral, dan pertambangan, serta data center berancang-ancang meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Selain pemanfaatan PLTS Atap, pembangunan PLTS ground mounted, PLTS Terapung menjadi solusi cepat bagi sejumlah industri.
Selain itu kesepakatan PLN dan Amazon untuk memasok 215 MW listrik hijau lewat mekanisme corporate PPA akan membuka peluang PLN melakukan kontrak serupa dengan industri lainnya. Ini membuka kesempatan bagi PLN untuk mengakselerasi proyek-proyek energi terbarukan khususnya PLTS yang bisa dieksekusi kurang dari 18 bulan.
Keempat, sejumlah industri nasional juga telah mencanangkan upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca melalui pemanfaatan energi terbarukan dan efisiensi energi. Komitmen ini terlihat pada Indonesia Net Zero Summit 2022 yang diselenggarakan KADIN bulan lalu. Sejumah industri yang menggunakan panas, misalnya food and beverage dan tekstil, yang selama ini berasal dari pembakaran batubara atau gas berpeluang mensubstitusinya dengan biomassa dan sumber energi terbarukan lainnya untuk menghasilkan green heat. Konversi ini akan meningkatkan penggunaan energi terbarukan non-listrik dan investasi di sisi rantai pasok feedstock dan retrofit peralatan.
Kelima, minat investor swasta asing dan domestik untuk berinvestasi pada energi terbarukan semakin luas. Investor domestik didorong oleh pelaku usaha energi fosil yang mendapatkan windfall profit tahun ini dan juga termotivasi untuk melakukan diversifikasi investasi pada energi bersih mengantisipasi target net-zero emission yang ditetapkan pemerintah. Selain itu Lembaga keuangan dalam negeri telah lebih siap mendanai proyek energi terbarukan dibandingkan waktu sebelumnya.
Di luar sentimen positif tersebut, eksekusi sangatlah penting. Peningkatan bauran energi terbarukan sedikit banyaknya masih tergantung pada PLN. Bagaimana PLN mengatasi oversupply, melakukan pelelangan pembangkit secara berkala dan terjadwal, dan merelaksasi ijin PLTS Atap, akan menentukan penambahan pembangkit energi terbarukan.
Faktor-faktor klasik seperti pelaksanaan regulasi antara lain Perpres No. 112/2022 dan Permen ESDM No. 26/2021, kepastian mengenai target pensiun dini PLTU sebelum 2030, serta ketersediaan pendanaan domestik yang kompetitif untuk energi terbarukan masih menjadi faktor utama.
Sudah saatnya Presiden turun tangan memperbaiki iklim investasi energi terbarukan, memimpin transisi energi di tahun-tahun akhir pemerintahnya.
*) Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)
Sumber: https://investor.id/opinion/318517/prospek-energi-terbarukan-2023