AKURAT.CO Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) menegaskan kebutuhan mendesak untuk mengendalikan produksi batu bara nasional untuk jangka menengah dan panjang.

Pasalnya, tanpa pengendalian produksi nasional harga batubara akan tertekan dan akibatnya penerimaan negara berkurang. Yang lebih membahayakan adalah kerusakan lingkungan yang luas akibat lubang tambang yang ditinggal tanpa reklamasi.

Ketua IMEF Singgih Widagdo mengatakan selain cadangan batu bara Indonesia yang terbatas, berbagai negara importir khususnya negara importir terbesar China dan India juga dihadapkan untuk mengurangi impor dalam upaya memenuhi komitmen Net Zero Emission (NZE).

“Pengendalian produksi batubara nasional untuk jangka menengah danpanjang harus dilakukan segera,” kata Singgih dikutip Senin (21/8/2023).

Ditambahkan, pengendalian produksi batu bara nasional tidak mudah lantaran industri ini ditopang oleh ratusan perijinan, mulai PKP2B, IUP, IUPK hingga kepentingan pemerintah daerah untuk memperbesar PAD dari tambang batu bara.

Hilirisasi Batu Bara
Hilirisasi di satu sisi sebagai opsi pengendalian produksi batu bara pun tidak mudah. Hilirisasi secara masif dimulai saat pemerintah mengharapkan proyek Peningkatan Nilai Tambah (PNT) dapat dimotori oleh pemilik Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai perpanjangan Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

“Namun pelaksanannya tidak mudah karena harus mempertemukan pemilihan teknologi, pendanaan, dan keekonomian serta menyeimbangkan kepentingan bisnis dan kepentingan ketahanan energi ke depan,” imbuh Singgih.

Dari sisi teknologi, harus diakui Indonesia belum memiliki teknologi pengolahan dan pemurnian. Apalagi bicara manufaktur teknologi hilirisasi dan riset teknologi secara mendalam. Tanpa memperkuat riset dan membangun manufaktur teknologi hilirisasi, dapat dipastikan kita akan membayar mahal dari akibat yang ditimbulkan.

“Contohnya adalah proyek DME dan methanol. Mundurnya Air Products and Chemicals Inc dari proyek Dimethyl Ether (DME) di Indonesia telah menghambat rencana pemerintah dalam pemanfaatan DME sebagai substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG). Rencana mengurangi devisa negara dari impor LPG dengan memproduksi DME di dalam negeri sekaligus melakukan diversifikasi energi oleh industri pertambangan batubara dipastikan tidak berjalan sesuai jadwal yang telah ditetapkan Pemerintah,” ujar Singgih.

Namun sebesar apapun tantangannya, menurut Singgih upaya hilirisasi batu bara di dalam negeri dan sekaligus kepentingan dekarbonisasi harus dilakukan. Misalnya dengan mengolah dan mengkonversi batubara menjadi produk substitusi minyak bumi seperti DME, bahkan produk industri kimia dasar berbasis batu bara lainnya, dengan melengkapinya dengan teknologi penangkap karbon (CCS). Bahkan, tujuan hilirisasi batu bara tidak harus dinilai pada aspek komersial saja, namun harus diletakkan untuk menunjang ketahanan dan kemandirian energi serta rantai pasok industri petrokimia Indonesia di masa mendatang.

Dari sisi regulasi, beberapa perbaikan peraturan perundangan pun telah dilakukan seperti perbaikan HBA yang lebih riil terhadap harga pasar serta pengajuan dan proses persetujuan RKAB yang semula dilakukan setiap tahun aka ndijadikan setiap tiga tahun. Kendala yang dihadapi adalah penegakan hukum pada industri pertambangan yang tidak efektif dan tidak terselesaikan secara tuntas.

“Diperlukan komitmen bersama seluruh pemangku kepentingan, termasuk aparat penegak hukum, untuk menegakan peraturan,memberantas mafia tambang, dan dukungan politik dari Presiden Jokowi dan partai politik,” kata Ilham.

Setidaknya ada 3 masukan IMEF yang bisa dijadikan catatan pemerintah terkait dengan pertambangan. Pertama, memperkuat hilirisasi mineral dan batu bara, sebagai langkah penghematan neraca perdagangan, pemberdayaan industri nasional, keterlibatan tenaga lokal dan penyerapan tenaga kerja baik tahap kontruksi dan operasi.

Kedua, memperkuat riset terkait hilirisasi mineral dan batu bara dan juga berbagai riset untuk mengoptimalkan nilai manfaat.

Sumber: Akurat.co