Dalam sejumlah kesempatan Presiden Joko Widodo menyampaikan arahan untuk mentrasformasikan ekonomi Indonesia ke arah ekonomi hijau (green economy). Ini menjadi bagian dari komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim.

Tiga aspek disebutkan merupakan elemen utamanya. Pertama, pertumbuhan ekonomi, melalui peningkatan investasi dan penciptaan nilai tambah (value added) dan manfaat yang optimal dari setiap aktivitas ekonomi.

Kedua, peningkatan kesejahteraan masyarakat, melalui pembukaan lapangan kerja baru. Ketiga, perlindungan lingkungan hidup, dengan mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Ekonomi Energi Transisi
Di sektor energi, jajaran pemerintah menerjemahkannya sebagai gagasan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan (KESDM, 2021).

Beberapa program dan kebijakan telah banyak digulirkan. Jika dicermati, arahnya pada meningkatkan porsi energi baru terbarukan (EBT) – sekarang muncul istilah baru energi baru dan energi terbarukan (EBET) – dan pengendalian tingkat emisi karbon dalam bauran energi nasional.

Seluruh langkah itu untuk menciptakan nilai tambah ekonomi. Dapat dikatakan, terjemahan visi ekonomi hijau di dalam sektor energi itu tidak lain adalah transisi energi itu sendiri.

Transisi energi, dengan penekanan lebih pada peningkatan pendayagunaan sumber daya EBET, sangat memerlukan kerangka payung hukum dan perangkat regulasi yang kuat. Di dalam aspek ini, dibandingkan dengan beberapa negara lain di kawasan ASEAN, Indonesia dapat dikatakan relatif tertinggal.

Vietnam, Thailand dan Malaysia adalah beberapa negara di kawasan Asia Tenggara yang telah memiliki perangkat regulasi setingkat undang-undang yang khusus mengatur tentang pendayagunaan dan pengembangan EBET. Filipina belum memilikinya tapi ada perangkat regulasi yang relatif lengkap di dalam pengusahaan sumber daya panas bumi, yang merupakan sumber energi terbarukan terbesarnya.

Pendayagunaan EBET pada keempat negara tersebut secara relatif dibandingkan potensinya dapat dikatakan cukup progresif. Merujuk pada data ASEAN Centre for Energy (2021), kapasitas terpasang EBET di Vietnam mencapai 24.519 mega-Watt (MW), Thailand 11.860 MW, Malaysia 8.046 MW, dan Filipina 6.695 MW. Secara rata-rata, porsi pendayagunaan EBET negara-negara di kawasan tersebut mencapai sekitar 10% dari potensi sumberdaya yang ada.

Di Asia Tenggara, Indonesia sebenarnya tercatat memiliki potensi sumberdaya EBET yang paling besar dan paling beragam. Potensinya mencapai 443.208 MW. Dengan potensi sebesar itu, kapasitas terpasang yang ada baru mencapai 8.907 MW, atau berarti di kisaran 2% hingga 3% dari total kapasitas sumber daya yang ada.

Mengacu pada pengalaman negara-negara tersebut di dalam pengaturan pendayagunaan sumber daya EBET, perangkat regulasi dan undang-undang yang secara khusus mengaturnya memang digunakan. Keberadaan undang-undang khusus EBET bagi Indonesia menjadi sebuah urgensi yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.

Landasan Kepastian Hukum
Keberadaan undang-undang yang khusus mengatur tentang EBET (Undang-undang/UU EBET) nantinya diharapkan dapat menjawab permasalahan mendasar yang selama ini ada di dalam pengembangan EBT. Permasalahan tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang saat ini ada tersebar, tidak terintegrasi, tidak semuanya memiliki kekuatan setingkat undang-undang, sehingga seringkali terjadi disharmoni pengaturan.

Dapat dikatakan bahwa peraturan perundangan terkait EBET yang ada saat ini tidak cukup kuat dan tidak cukup komprehensif untuk menjadi landasan dan menjamin kepastian hukum yang diperlukan. Kepastian hukum, dalam konteks ini, sangat diperlukan sebagai landasan pelaksanaan berbagai program kebijakan EBET yang sejatinya telah cukup lama digariskan pemerintah.

Program-program seperti pembangunan PLT EBET On Grid, implementasi PLTS Atap, konversi PLTD ke PLT EBET, mandatori B30, Co-Firing Biomassa pada PLTU, eksplorasi panas bumi oleh pemerintah, hingga pada penerapan pajak dan perdagangan karbon di sektor energi. Semua ini memerlukan landasan hukum yang solid uhtuk dapat dijalankan.

Keberadaan UU EBET juga diharapkan dapat memperbaiki aspek tata kelola dan memperkuat kelembagaan di dalam pengembangan EBET. Terobosan terkait aspek kelembagaan. Misalnya, pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) Perencanaan dan Investasi EBET, yang dapat difungsikan sebagai executing agency di dalam pengembangan EBET, hanya akan dapat direalisasikan melalui perangkat regulasi setingkat undang-undang.

Lebih jauh, kepastian hukum diharapkan akan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi investor EBET. Dalam konteks ini, pengaturan terkait penentuan harga EBET, kebijakan terkait komponen lokal, jenis dan mekanisme pemberian insentif, baik insentif fiskal maupun non-fiskal, kepada pelaku usaha diharapkan akan lebih jelas dan benar-benar dapat diimplementasikan dengan adanya UU EBET.

Dengan kepastian hukum berusaha yang lebih baik, investasi, penciptaan nilai tambah ekonomi, dan pembukaan lapangan kerja baru di dalam pengembangan EBET, diharapkan akan berjalan dengan lebih progresif.

Keekonomian Aspek Terpenting
Untuk dapat lebih workable dan merealisasikan objektif dari transisi energi secara khusus maupun ekonomi hijau secara lebih luas, beberapa aspek kritikal di dalam UU EBET perlu mendapatkan perhatian dan pengaturan khusus. Salah satu yang terpenting adalah aspek keekonomian.

UU EBET hendaknya memuat ketentuan-ketentuan yang dapat memfasilitasi dan pada tingkatan kepastian tertentu menjamin berjalannya mekanisme pasar di dalam investasi-investasi EBET secara sehat, efektif, dan efisien.

Sebagai contoh dalam hal ini adalah pengaturan di dalam penerapan harga listrik EBET maupun skema Feed In Tariff (FIT) yang menyertainya. Hendaknya di dalam pengaturan harga dan skema FIT ini UU EBET nantinya tidak sekadar menetapkan rentang skala harga dan FIT yang layak saja, tetapi juga mengatur secara lebih lugas bahwa pemerintah melalui mekanisme insentif ataupun subsidi tertentu adalah pihak yang akan menanggung selisih keekonomian investasi yang tidak dapat dicapai melalui mekanisme pasar murni.

Pengalaman di berbagai negara mengajarkan bahwa keekonomian di dalam sebagian besar investasi EBET memang memerlukan pengaturan cukup detail dan intervensi langsung dalam bentuk insentif baik fiskal maupun non-fiskal dari pemerintah. Termasuk di dalam hal ini misalnya adalah kejelasan pengaturan dalam hal kewajiban atau penugasan kepada pihak tertentu untuk membeli listrik yang dihasilkan dari pembangkit EBET dan atau di dalam menanggung selisih harganya yang mungkin masih di bawah nilai keekonomian.

Tanpa kejelasan tentang siapa pihak yang akan menanggung selisih keekonomian itu, dalam apa bentuknya, dan melalui mekanisme apa, sulit untuk mengharapkan investasi EBET akan dapat berjalan, apalagi dalam skala masif. Kejelasan di dalam aspek keekonomian UU EBET dapat dikatakan merupakan penentu keberhasilan dalam menjalankan transisi energi dan merealisasikan objektif-objektif mulia dari visi ekonomi hijau.

Sumber: https://katadata.co.id/sortatobing/indepth/63d0fc7745c2b/ekonomi-transisi-energi-dalam-undang-undang-energi-baru-terbarukan