SEMARANG, KOMPAS.com – Penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di sektor industri cukup mendominasi di Jawa Tengah (). Namun, sayangnya pemasangan modul hanya dibatasi sekitar 15 persen saja.
Menurut catatan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) , sampai sekarang kapasitas PLTS atap sektor industri mencapai 19.688 kWp (kilowatt peak). Angka tersebut tertinggi jika dibandingkan sektor lain di Jateng.
Misalnya saja di sektor bisnis komersial PLTS atap sebesar 1.869 kWp. Lalu Gedung Pemerintah 1.393 kWp. Kemudian sekolah dan pondok pesantren 1.112 kWp.
Adanya pembatasan Kepala Bidang Energi Baru dan Terbarukan () ESDM Jateng, Eni Lestari mengaku sedikit pesimis dengan target bauran EBT di Jateng sebesar 21,32 persen di 2025 mendatang. Pasalnya saat ini masih 15,76 persen.
“Targetnya kita tetap mendorong EBT, tapi aturan harus kita ikuti. Agak pesimis juga dibanding saat belum ada batasan (15 persen dari PLN),” tutur Eni, Senin (14/8/2023).
Pasalnya sebelumnya Jateng sempat mendeklarasikan Jateng Solar Province (provinsi berbasis tenaga surya). Bahkan telah melakukan sosialisasi di berbagai sektor.
Ia juga menyadari potensi penggunaan PLTS atap di sektor industri sejatinya sangat besar.
“Karena sebenarnya kebutuhan industri akan PLTS itu sangat besar. Tapi mereka (industri) masih menunggu posisinya (kebijakan). Barangkali Permennya setelah berubah ini nanti jadi lebih menjanjikan daripada kondisi Sekarang,” imbuhnya.
Peraturan Menteri (Permen) Nomor 26 tahun 2021 mengatur pemasangan PLTS atap disesuaikan dengan kapasitas maksimum dari kebutuhan industri itu. Namun praktiknya industri hanya diizinkan memasang maksimal 15 persen saja. Seperti yang sudah dilakukan Pabrik Sido Muncul sejak 2021 silam.
Dari wawancara Kompas.com, kebutuhan listrik bulanan di Sido Muncul mencapai 7.000 kW atau 7 megaWatt. Hal ini membuktikan besarnya kebutuhan listrik untuk proses produksi atau operasional pabrik.
Menurut Eni, besarnya penggunaan listrik dari sektor industri membuat PLN perlu mengatur batasan itu. Terlebih mengingat kondisi produksi listrik di Jateng surplus dan banyak yang tidak terpakai sia-sia.
“Padahal secara produksi listrik enggak bisa disimpan. Misalnya produksi 8.000 mega lebih, Jateng itu beban puncak sekitar 4.000 sekian. Jadi masih sisa 4.000-an sebetulnya. Yang sudah diproduksi dengan mengeluarkan biaya, tapi enggak dipakai kan kayak jalan aja, hilang. Mungkin alasan kedua itu kenapa PLN membatasi, supaya bisa maksimal menggunakan listrik dari PLN,” jelasnya.
Dengan adanya rencana revisi Permen ESDM Nomor 26, diharapkan pemasangan batas maksimal PLTS dapat diatur oleh daerah masing-masing.
“Misal di Jateng meliputi Jateng DIY, mungkin akan punya kebijakan kuota sekian mega. Harus memikirkan industri yang memasang PLTS atap,” katanya.
“Ya kita ikut mendorong kelonggaran batasan lebih dari 15 persen, kita komunikasikan dengan pusat. Karena itu kebijakan pusat, jadi kami harus ikuti. Pada saat rapat diundang ya kita sampaikan itu,” tambahnya.
Sumber: KOMPAS