Kementerian ESDM melaporkan penyaluran biodiesel hingga tengah tahun ini mencapai 5,40 juta kiloliter (KL) sejak disalurkan pertama kali pada 1 Februari. Realisasi distribusi tersebut setara 41% dari total total alokasi biodiesel untuk program B35 di tahun 2023 sebanyak 13,15 juta kl.

“Penyaluran biodiesel sampai dengan status per 2 Juli 2023 yakni 5.407.166 KL,” kata Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Edi Wibowo kepada Katadata.co.id, melalui pesan singkat pada Senin (3/7).

Adapun program B35 adalah mencampur biodiesel dari fatty acid methyl ester atau FAME minyak kelapa sawit sebesar 35% ke dalam komposisi BBM solar. Adapun Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat penyaluran BBM solar bersubsidi hingga 8 Juni mencapai 7,3 juta Kl atau 43,1% dari total kuota tahun ini.

FAME merupakan minyak nabati turunan dari minyak sawit mentah yang mengandung asam lemak dengan kadar 61-62%. Karakteristik fisik dari FAME mirip dengan bahan bakar fosil dan juga punya kandungan fisik yang mirip dengan dengan diesel konvensional.

Lebih lanjut, Edi mengatakan bahwa implementasi program B35 merupakan langkah pemerintah untuk menekan impor solar dan mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia. Pelaksanaan program B35 juga dilatarbelakangi oleh adanya peluang harga biofuel yang relatif lebih rendah daripada fluktuasi harga BBM dunia.

Distribusi B35 diharapkan dapat diimplementasikan di semua wilayah Tanah Air, sehingga dapat menekan impor solar tahunan. “Program B35 diimplementasikan untuk semua wilayah Indonesia,” ujar Edi.

Program mandatori B35 mulai diterapkan secara bertahap mulai awal tahun ini. Tahap pertama telah berjalan sejak Februari di empat wilayah operasi Pertamina.

Empat wilayah tersebut yakni wilayah I Sumatera Bagian Utara, wilayah II Sumatera Bagian Selatan, wilayah VIII Maluku, Maluku Utara, Papua, dan sebagian wilayah V Bali dan Nusa Tenggara.

Lebih lanjut, periode kedua atau perluasan akan dijalankan mulai Agustus di wilayah III Jawa Bagian Barat, wilayah IV Jawa Tengah, wilayah VII Sulawesi Selatan serta sebagian wilayah V Jawa Timur dan Madura. Selisih waktu enam bulan ini ditujukan untuk melakukan penyesuaian infrastruktur.

Sumber: KATADATA