Bogor, CNBC Indonesia – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan alasan dibalik dorongan untuk diterbitkan moratorium smelter atau fasilitas pengolahan dan pemurnian nikel di Indonesia.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba), Irwandy Arif mengungkapkan bahwa alasan utama pemerintah menginginkan moratorium smelter nikel adalah untuk mengantisipasi habisnya pasokan bijih nikel di dalam negeri.
“Kalau smelter berdiri dia perlu bijih, kalau bijih kita habis gimana, nggak bisa jalan smelternya. Itu pertimbangan pertama,” ungkap Irwandy pada acara Workshop Mining for Journalist, Bogor, dikutip Senin (27/2/2023).
Dia menambahkan, nikel terdiri atas dua jenis yaitu nikel dengan kadar tinggi (Saprolit) dan nikel berkadar rendah (Limonit). Irwandy mengatakan walaupun cadangan Saprolit di Indonesia terhitung masih banyak yakni 2,7 miliar ton, namun jika dikonsumsi dalam satu tahun mencapai 450 juta. Maka besar kemungkinan Indonesia akan kehabisan cadangan nikel khususnya Saprolit dalam waktu dekat.
“Cadangannya (Limonit) itu kurang lebih 2,7 miliar (ton) masih ada. Yang Saprolit hampir sama, tapi kalau dimakan 450 juta per tahun bagaimana, langsung jebol itu,” tambahnya.
Dengan begitu, Irwandy mengatakan perlu adanya moratorium smelter nikel agar bisa membatasi konsumsi nikel di Indonesia. Menurutnya, pembatasan pembangunan smelter itu bisa dilakukan dengan tidak memberikan tax holiday, bea keluar, dan sebagainya. Namun, Irwandy belum bisa memastikan bagaimana pembatasan yang akan dilakukan oleh pemerintah.
“Untuk bisa membatasi itu supaya smelter yang berdiri dapat mendapat pasokan yang baik, yang terpenuhi, maka kemungkinan akan dibatasi pembangunan smelternya. Pembatasannya bermacam-macam. Ada masalah tidak lagi diberikan tax holiday, atau mungkin bea keluar, kita juga belum tahu karena kebijakannya belum keluar,” tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia akan mendorong penggunaan energi untuk proyek smelter nikel ini berbasis pada energi hijau, bukan lagi berbasis pada batu bara.
Pasalnya, tren dunia saat ini mengarah pada transisi energi atau produk berbasis pada energi hijau. Bila proyek smelter di dalam negeri berbasis pada energi hijau, maka nantinya produk akhir dari smelter RI ini mampu bersaing dan menjadi rebutan dunia.
“Kita sekarang itu kan membangun sebagian kan baru 40% nilai tambahnya, mulai kita dorong, tetap tidak kita batasi (smelter nikel). Tetap kita bangun (smelter nikel) tapi memanfaatkan energi terbarukan,” jelas Bahlil dalam konferensi pers, Kamis (16/2/2023).
Untuk diketahui, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli pernah menyampaikan moratorium pembangunan smelter nikel baru perlu dilakukan.
Mengingat, dengan kapasitas terpasang smelter yang sudah beroperasi saat ini membutuhkan sekitar 135 juta ton pasokan bijih nikel, maka daya tahan cadangan nikel hanya sampai sekitar 9 tahun saja.
“Belum lagi smelter yang dalam tahap konstruksi sekitar 28 smelter yang membutuhkan bahan baku sekitar 92 juta ton per tahun,” kata dia kepada CNBC Indonesia, Rabu (18/1/2023).
Di sisi lain, ada 57 smelter masih dalam tahap perencanaan yang membutuhkan input bijih nikel sekitar 187 juta ton per tahun. Dengan demikian, total kebutuhan bijih nikel kadar 1,5% ke atas diperkirakan sekitar 415 juta ton per tahun.
“Dengan total cadangan yang ada saat ini sekitar 2,75 miliar ton (Ni > 1,5%), maka daya tahan cadangan mengkhawatirkan,” katanya.
Setidaknya, hanya beberapa perusahaan saja yang nantinya akan bisa bertahan karena memiliki cadangan yang besar untuk menghidupi smelternya. Oleh sebab itu, perlu langkah untuk mengaktifkan eksplorasi lanjutan baik untuk menemukan cadangan baru maupun mengkonversi sumber daya menjadi cadangan.