Sektor pertambangan mineral dan batu bara (Minerba) masih menopang perekonomian Indonesia. Namun, sektor ini masih memerlukan perbaikan tata kelola yang lebih baik di masa kini dan mendatang. Selain memastikan iklim usaha yang kondusif, tata kelola juga perlu memastikan usaha pertambangan berlangsung dengan praktek pertambangan yang baik (good mining practices). Salah satu upayanya dengan memperbaiki mekanisme di seluruh rantai produksi tambang, mulai dari pra-persetujuan, operasional, hingga pasca-tambang agar terbentuk sistem check and balances antara publik, perusahaan dan pemerintah yang optimal.
Berangkat dari latar belakang tersebut, Research Centre for Politics and Government (PolGov) bersama dengan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia atas dukungan Global Partneship Social Accountability (GPSA) – the World Bank, menyelenggarakan pelatihan akuntabilitas sosial dengan empat topik: publicness, kerangka legal (regulatory framework), pelembagaan (institutionalisastion), dan keberlanjutan (sustainability) secara daring pada 18-19 Agustus 2021.
Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas peserta untuk memahami problema perizinan sektor minerba di daerahnya. Pelatihan ini mendorong peserta berjejaring dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait untuk mencari solusi persoalan terkait perizinan di daerahnya.
Peserta pelatihan merupakan perwakilan dari tiga daerah kaya sumber daya minerba yang menjadi fokus proyek ini yakni Aceh, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara. Peserta yang hadir mewakili berbagai pemangku kepentingan, seperti Komisi Informasi Aceh, perwakilan pihak swasta pertambangan, OMBUDSMAN RI perwakilan Kalimantan Timur, OMBUDSMAN RI perwakilan Sulawesi Tenggara, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulawesi Tenggara, Prakarsa Borneo, perwakilan Warga Sungai Payang Kalimantan Timur, perwakilan Masyarakat Alue Baloe, perwakilan Warga Krueng Mangkom, dan lainnya.
Dalam pelatihan tersebut, peserta mendisukusikan sejumlah pertanyaan kunci. Sesi pelatihan dengan topik publicness memfokuskan pada penguatan proses dan output perizinan yang berorientasi pada publik. Pertanyaan kunci yang didiskusikan adalah: bagaimana publik dapat terlibat dan mendapatkan manfaat dari proses perizinan?
Bagaimana publik membangun kembali kekuatannya sebagai pemilik peran penting di dalam proses perizinan pertambangan?. Sementara topik kerangka legal memfokuskan pada aspek-aspek regulasi perizinan pertambangan dan ruang legal untuk publik, dengan pertanyaan kunci: bagaimana regulasi perizinan pertambangan membuka ruang dan melindungi hak-hak publik dari dampak proses perizinan pertambangan?. Adapun topik pelembagaan memfokuskan pada mekanisme kelembagaan keterlibatan publik di dalam praktek perizinan pertambangan, dengan pertanyaan kunci: Bagaimana membangun kelembagaan yang menguatkan kembali peran publik di dalam fase perizinan?.
Sedangkan topik terakhir yakni topik keberlanjutan memfokuskan pada aspek keberlanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi dari praktek perizinan pertambangan, dengan pertanyaan kunci: bagaimana pemangku kepentingan mengantisipasi dan menangani potensi masalah lingkungan dari praktek pertambangan di tengah perubahan kewenangan dan kerangka teknis terkait analisis mengenai dampak lingkungan?.
Di hari pertama, hadir sebagai pemantik diskusi Emanuel Bria, Peneliti Sustainable Minerals Insitute (SMI) University of Queensland dan Konsultan World Bank, Sony Heru Prasetyo, perwakilan Direktorat Jenderal Minerba, Kementerian ESDM, dan Nusyamsi Gemawati, pewakilan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Dalam diskusi topik publicness, perwakilan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Nagan Raya berpendapat bahwa pemerintah tidak memberikan ruang gerak yang cukup untuk masyarakat dalam mengawasi perizinan pertambangan, selain itu juga tidak adanya rekomendasi yang diminta dari masyarakat oleh pemerintah dan semakin terbatasnya peran pemerintah daerah dalam mengawasi perizinan pertambangan.
Perwakilan perempuan desa Sungai Payang, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur sangat aktif dalam menyampaikan pendapatnya terkait publicness di Kalimantan Timur. Sama seperti Aceh, mereka berpendapat masih kurangnya pelibatan masyarakat dalam berbagai proses perizinan pertambangan. Di sisi lain, Warga Sungai Payang mendapatkan keuntungan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor pertambangan, namun hanya sebagai buruh atau supir. Mereka juga mendapatkan program CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan tambang berupa perbaikan jalan dan pengadaan tempat air minum berupa tandon.
Andi Hatta, Ketua Komisi Informasi Sulawesi Tenggara mengatakan bahwa pemicu adanya kerusuhan di daerah tambang dikarenakan minimnya keterlibatan masyarakat. Masyarakat mengharapkan adanya keterbukaan informasi terkait informasi data publik bagi nasional maupun daerah. Masyarakat Sulawesi Tenggara juga sudah merekomendasikan untuk dilakukannya pembinaan dan penegakan hukum jika ada penyelewengan dari persoalan tambang di Sulawesi Tenggara.
Menyikapi hal diatas, Emanuel Bria memberikan tanggapan dan menyikapi bahwa secara umum masih terdapat keterbatasan mengenai lemahnya mekanisme pengawasan dan evaluasi perizinan, lalu informasi yang masih terbatas terkait dampak sosial dan lingkungan akibat aktivitas pertambangan, informasi mengenai CSR juga konten lokal dalam tenaga kerja dan bagi hasil. Emanuel Bria juga memaparkan pemikiran sederhananya melalui konsep kepemilikan bahwa sejauh mana state ownership yang dipahami oleh masyarakat, lalu masyarakat diberikan pilihan untuk pembangunan selain di sektor pertambangan sebagai contoh pertanian, atau pariwisata. Jika masyarakat menyetujuinya, negara harus memikirkan terkait bagi hasil dan post mining economy nya.
Sony Heru Prasetyo memaparkan materi terkait kerangka legal dan regulasi yang baru dari pemerintah mengenai perizinan pada subsektor minerba. Adanya perubahan regulasi tersebut mengakibatkan adanya perubahan kewenangan dari pusat ke provinsi mengenai perizinan. Perubahan undang-undang tersebut berpotensi membuka partisipasi masyarakat dari adanya kanal pengaduan serta adanya pengawasan inspektorat tambang yang ditempatkan di provinsi untuk meminimalisir adanya kesalahan dalam perizinan pertambangan.
Diskusi mengenai perubahan regulasi perizinan mendapatkan respon positif karena memunculkan harapan masyarakat untuk mendapatkan haknya. Namun, Musnaji, perwakilan warga Alue Buloeh, Aceh mengatakan bahwa tetap ditemukan perusahaaan tambang yang belum sesuai dengan ketentuan. Lubang tambang dan limbah masih mengalir ke aliran air bersih yang mana merugikan masyarakat. TM Zulfika, perwakilan warga Aceh juga menyayangkan terhentinya moratorium pertambangan karena menurutnya hal tersebut penting sebagai strategi pengelolaan tambang khususnya di Aceh.
Di hari kedua, hadir Alamsyah Saragih, Anggota Ombudsman RI Periode 2016-2021, Prof. Purwo Santoso, Guru Besar Universitas Gajah Mada, Rezki Syahrir, perwakilan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPPI) sebagai pemantik diskusi. Sesi ini membahas topik mengenai kelembagaan dan keberlanjutan dari akuntabilitas sosial yang kolaboratif antara pemerintah dengan masyarakat terkait pengelolaan sektor pertambangan.
Alamsyah Saragih menyebut 3 (tiga) perspektif hak dalam konsep tata kelola, yaitu:
- Hak Transparansi: Warga memiliki hak untuk mengetahui sehingga pemerintah berkewajiban menyediakan fasilitas dan personal kompeten yang menyediakan hal tersebut sebagai contoh yaitu Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
- Hak Akuntabilitas: Hak untuk claim atau hak untuk memperkarakan, seperti orang melaporkan ke Ombudsman hingga pengadilan, sehingga terbangun mekanisme dan prosedur yang jelas.
- Hak Partisipasi: Right to involve atau to be involved to decision making. Partipasi itu kata kuncinya terlibat dalam menentukan keputusan. Orang terlibat dalam pengambilan keputusan, bukan hanya ikut terlibat pembicaraan.
Ketiga hak tersebut bisa berjalan apabila negara menyediakan institusi atau forum dan aparat yang kompeten untuk menjamin kelangsungan ketiga hak tersebut.
Prof. Purwo Santoso sebagai menambahkan bahwa kunci dari akuntabilitas itu ada di bagaimana pelaksanaan sistem perizinannya. Karena perusahaan swasta selaku badan hukum itu bekerja dengan logika sah-tidak sah, bukan benar-tidak benar. Maka perizinan yang didapat dari pejabat publik adalah sebagai alat keabsahan. Prof. Purwo Santoso menyarankan bahwa perlu ditingkatkan prinsip teknokratik menjadi kolaboratif dimana keabsahan didasarkan pada emansipatoris. Tantangannya bagaimana melakukan pemberdayaan kepada warga untuk bisa bermusyawarah sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya permasalahan yang pelik.
Koordinator Nasional PWYP Indonesia. Aryanto Nugroho yang dalam sambutan penutupnya menyampaikan pola aksesibilitas sosial kolaboratif. Ia menuturkan bahwa syarat agar terciptanya forum multi-pihak yang baik harus ada ruang yang sama, kemampuan yang setara, dan tujuan yang sama, sehingga forum multi-pihak dapat menjadi ruang titik temu yang sama dan lebih jelas antara seluruh pihak.