KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pelaku usaha mengeluhkan adanya perlambatan pasokan bijih nikel untuk smelter saat ini. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan pihaknya terus memantau produksi bijih nikel sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang sudah diterbitkan.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menjelaskan, terus memantau berapa produksi bijih nikel sesuai dengan RKAB tahun ini.

“Kita ini produksinya lebih dari cukup untuk yang di dalam negeri,” ujarnya saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (6/10).

Dadan juga menyatakan, proses penerbitan RKAB untuk nikel prosesnya terus berjalan.

Sebelumnya, Direktur Utama Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Alexander Barus menyatakan, jumlah smelter nikel saat ini sudah telampau menjamur. Hal ini menyebabkan permintaan bijih nikel semakin tinggi tetapi tidak diikuti dengan pasokan yang memadai dari dalam negeri.

“Permintaan bijih nikel itu sudah hampir 140 juta metrik ton (MT) per tahun, padahal normalnya mungkin 100 juta MT. Jadi sekarang ini harga nikel begitu tinggi, jadi masalah para smelter. Satu sama lain saling berebut bahan baku,” ujarnya saat ditemui di Gedung Menara Kompas, Selasa (3/10).

Namun sayang, di saat permintaan melonjak, beberapa waktu belakangan ini pasokan bijih nikel ke smelter melambat karena sejumlah kejadian.

Pertama, diberantasnya pertambangan nikel ilegal oleh pemerintah.

Kedua, pasca-kejadian ditangkapnya pegawai Kementerian ESDM terkait penerbitan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), sejumlah pihak jadi khawatir untuk menerbitkan RKAB baru.

“Akibatnya orang takut menerbitkan RKAB baru, selama 3 bulan ini jadi short supply. Sehingga harga menjadi naik karena smelter tidak boleh berhenti. Kalau berhenti mahal sekali untuk menghidupkannya,” ungkapnya.

Alhasil, sejumlah smelter dikabarkan membeli bijih nikelnya dari luar negeri alias impor. Berdasarkan kabar yang diketahuinya, masih ada satu hingga dua kapal yang membawa bijih nikel ke dalam negeri.

Barus menegaskan, impor bijih nikel tidak melanggar aturan apapun sehingga sah-sah saja dilakukan. Ada dua pertimbangan pengusaha memutuskan untuk mengimpor bahan baku.

Pertimbangan pertama ialah bijih nikel dari luar negeri harganya lebih kompetitif. Pertimbangan kedua, spesifikasi nikel untuk blending yang dibutuhkan smelter hanya tersedia dari luar negeri.

“Untuk membuat Feronikel atau Nickel Pig Iron (NPI) ada rasio silicon magensium harus di bawah 2. Namun karena menambangnya banyak, jadi rasio silicon magensium di atas 2. Jadi biasanya akan diimpor bijih nikel yang sesuai kebutuhan untuk blending,” jelasnya.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif menjelaskan, keseimbangan pasokan bijih nikel dengan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel berteknologi RKEF harus dipertimbangkan dengan baik.

“Neraca, keseimbangan ketersediaan cadangan, keperluan industri ke hilir harus seimbang perhitungannya, harus matang,” ujarnya saat ditemui di kesempatan yang sama.

Melalui perhitungan itu, pemerintah menentukan mana saja pembangunan smelter yang diperlambat, kemudian akan ditransformasikan ke industri yang lain, misalnya ke sektor baterai kendaraan listrik.

Irwandy menjelaskan, saat ini industri smelter di Indonesia sudah berjalan dalam tiga jalur, yakni stainless steel yang sudah cukup baik, baterai kendaraan listrik, dan logam paduan.

“Untuk nikel logam paduan ini belum menjadi perhatian yang serius. Harus diseriuskan lagi untuk masa depan yang lebih baik,” jelasnya.

Secara umum untuk mendukung hilirisasi sampai dengan industrialisasi, Kementerian ESDM akan mengoptimalkan semua komoditas minerba yang ada, sembari juga bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian.

“Kemudian, semua produk-produk yang sudah ada di hilirisasi bisa dikembangkan di hilirnya (industrialisasi) memang ini juga tugas bersama Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM,” imbuhnya.

Sumber: KONTAN