Jakarta, CNBC Indonesia – Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) mendorong pemerintah agar segera menerbitkan moratorium pembangunan pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di Indonesia. Hal tersebut menimbang Indonesia yang semakin masif dalam hilirisasi nikel namun tidak dibatasi penambangannya.

Ketua Umum PERHAPI Rizal Kasli mengatakan, dalam jangka panjang, cadangan nikel di Indonesia tidak bisa mencukupi kebutuhan hilirisasi dalam negeri lagi. Dia mengatakan kebutuhan bijih nikel dalam setahun bisa mencapai 400 juta ton.

Rizal menyebutkan, pemerintah sudah saatnya melakukan moratorium untuk pembangunan smelter dengan teknologi fero metalurgi yang berbasis energi terbarukan.

“Memang sudah saatnya kita melakukan moratorium untuk pembangunan smelter dengan teknologi fero metalurgi. Apakah itu yang berbasis energi dari fossil fuel atau dari sumber energi yang terbarukan. Karena memang cadangannya tidak mencukupi untuk jangka panjang,” ujarnya kepada CNBC Indonesia dalam Mining Zone, dikutip Kamis (19/1/2023).

Indonesia saat ini memiliki sekitar 41 smelter nikel yang beroperasi, sedangkan yang sudah selesai konstruksi sebanyak 28 smelter, dan yang dalam tahap perencanaan ada dari 57 perusahaan. Rizal menilai kebutuhan akan nikel di Indonesia akan semakin membludak hingga 400 juta ton bijih nikel dalam setahun.

“Yang saya ketahui bahwa yang sudah beroperasi itu sudah 41 perusahaan, kemudian yang sudah selesai konstruksi itu 28 perusahaan, yang masih dalam tahap perencanaan itu adalah 57 perusahaan. Nah sehingga total kebutuhan ore nikel yang dibutuhkan itu lebih dari 400 juta ton setahun,” tandasnya.

Dia juga khawatir bahwa cadangan bijih nikel di Indonesia terbukti sebesar 1,18 miliar ton. Sehingga, Rizal menilai hal tersebut perlu menjadi perhatian pemerintah untuk segera melakukan moratorium pembangunan smelter nikel.

“Cadangan yang terbukti (di Indonesia) itu hanya 1,18 miliar ton, nah ini yang perlu dipikirkan,” ucapnya.

Selain itu, permasalahan kelestarian lingkungan juga perlu menjadi pertimbangan pemerintah. Rizal mengatakan semakin masifnya pembangunan smelter di dalam negeri dikhawatirkan bisa merusak lingkungan.

“Kalau kita terlalu berambisi kemudian mengeruk bijih nikel secara masif untuk memenuhi kebutuhan nikel yang cukup banyak, ini saya khawatir kita akan juga mengabaikan kelestarian lingkungan dan ini sudah terjadi di beberapa daerah,” tegasnya.

Sehingga, Rizal menegaskan perusahaan smelter nikel harus memperhatikan reklamasi dan rehabilitasi lingkungan secara berimbang.

“Jangan hanya kita mengeruk membuka lahan, tapi kita juga harus memikirkan proses reklamasi dan rehabilitasi tambang secara berimbang,” tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa pemerintah akan membatasi pembangunan fasilitas smelter. Khususnya, bagi smelter yang hasil produk hilirnya (kandungan logam) baru mencapai 40%.

“Ini sebagai bentuk dari kepedulian pemerintah dalam melakukan penataan terhadap pembangunan produk yang berorientasi pada green energy dan green industry,” terang Bahlil saat ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/1/2023).

Di lain sisi, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali menegaskan pentingnya hilirisasi tambang untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Adapun salah satu pendorong berkembangnya industri hilir tambang, salah satunya nikel, di Tanah Air yaitu dengan adanya kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada 2020 lalu.

Jokowi sempat menyebut, dari yang sebelumnya nilai tambah RI hanya berkisar Rp 17 triliun per tahun, namun setelah hilirisasi berkembang, nilai tambah meningkat menjadi Rp 360-an triliun pada tahun 2021.

Pada 2022 bahkan nilai tambah dari komoditas nikel semakin meningkat menjadi sebesar US$ 33 miliar atau sekitar Rp 514 triliun. Dan pada 2023 ini nilai tambah dari industri nikel diperkirakan bisa semakin meningkat lagi hingga US$ 38 miliar atau Rp 592,2 triliun (kurs Rp15.585 per US$).

Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20230119143105-4-406817/pakar-tambang-dorong-moratorium-smelter-nikel-ini-alasannya