Langit di pagi itu, Selasa 30 Maret 2021, cukup cerah meskipun beberapa waktu sebelumnya hujan deras mengguyur Gampong Alue Buloh dan Krueng Mungkom, Kecamatan Seunagan, Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Di sepanjang perjalanan hanya mobil kami yang menyusuri jalan berbatu dan jembatan yang dihubungkan dengan kayu—satu-satunya akses keluar-masuk gampong—sementara di sisi jalan masih terdapat genangan air sisa hujan sebelumnya.

Begitu sampai di desa, kami tim GeRAK Aceh yang diwakili oleh Edy Syahputra (fasilitator lokal dan koordinator GeRAK Aceh Barat) dan Taufik Munawar, staf pekerja GeRAK Aceh Barat, langsung menuju Balai Desa Gampong Alue Buloh, tempat berlangsungnya pertemuan dengan warga desa. Upaya ini dilakukan sebagai langkah pertama pelaksanaan proyek Akuntabilitas Sosial Sektor Pertambangan yang didukung oleh GPSA-Bank Dunia. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan manajemen dan tata kelola sektor pertambangan di tingkat daerah melalui mekanisme akuntabilitas sosial kolaboratif.

Pemerintah desa dan masyarakat sekitar tambang di dua gampong menyambut baik kedatangan dan sosialisasi proyek akuntabilitas pertambangan di desanya. Masyarakat berharap GeRAK Aceh dapat menjembatani kepentingan perusahaan dan memenuhi hak warga terdampak. Kunjungan pertama ini berupa silaturahmi dan sosialisasi agenda proyek kepada masyarakat gampong, terutama warga ring satu alias masyarakat di sekitar pertambangan batu bara yang dikelola oleh PT Bara Energi Lestari (PT BEL), sekaligus diskusi dan memetakan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat gampong terkait aktivitas pertambangan.

Berangkat dari diskusi tersebut, kami berharap dapat mengidentifikasi rencana ruang kolaborasi antar-pihak untuk mengembangkan alat akuntabilitas yang sesuai guna menyelesaikan permasalahan tata kelola tambang, terutama terkait pelibatan masyarakat sekitar sebagai kelompok yang terdampak secara langsung.

Gampong Alue Buloh dan Krueng Mungkom yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Nagan Raya dipilih karena merupakan daerah terdampak (langsung) pertambangan. Sebagian besar masyarakat dua gampong tersebut adalah petani dengan padi sebagai komoditas utama, dan menggunakan lahan persawahaan yang masih ada.

Melebihi ekspektasi kami, lebih dari 20 peserta hadir di balai desa, berasal dari berbagai lapisan masyarakat gampong, yaitu Mukim Paya Udeng (kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan, membawahi beberapa gampong), pemerintah Gampong Alue Buloh dan Gampong Krueng Mangkom, Tuha Peut Gampong (TPG)/Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pemerintahan Aceh, perwakilan masyarakat Gampong Alue Buloh dan Krueng Mangkom, serta perwakilan perempuan dari wilayah sekitar tambang.

Diskusi dibuka oleh sambutan Keuchik atau Kepala Desa Krueng Mangkong dan perwakilan masyarakat. Keuchik Alue Buloeh sangat mendukung agenda yang kami bawa. Terlebih sebelumnya GeRAK Aceh juga pernah mendampingi gampong untuk melaporkan lubang tambang yang belum direklamasi perusahaan ke Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) hingga isunya masuk ke media.

Berdasarkan wawancara dengan masyarakat desa, sejauh ini kami menemukan kondisi kedua gampong tersebut kurang mendapatkan akses informasi pertambangan. Belum tampak adanya transparansi dan akuntabilitas penerimaan daerah sektor tambang dari awal rantai bisnis hingga jadi pendapatan daerah dan direalisasikan untuk kesejahteraan masyarakat.

Izin produksi PT BEL sendiri diberikan oleh Bupati Nagan Raya pada 2010 melalui SK Bupati Nomor 545/41/SK.IU-OP/2010 dengan luas 1.495 Ha. Permasalahan yang terjadi beberapa diantaranya lubang tambang yang belum direklamasi dan sejumlah kesepakatan masyarakat dengan perusahaan yang belum terpenuhi.

Satu-satunya akses jalan keluar-masuk gampong masih berbatu dan tak memadai, juga jembatan yang sudah miring, bahkan di beberapa titik disambung oleh kayu, serta sebagian kepala jembatan (abutment) sudah tergerus aliran sungai.

Bantuan perusahaan terhadap layanan pendidikan dan kesehatan masyarakat gampong tampaknya berhenti di tahun 2016 dan 2017. Pada 2016, bantuan pendidikan hanya berupa seragam SD, sementara pada 2017 kader posyandu di ring satu diberikan pelatihan kesehatan oleh perusahaan. Terkait program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), masyarakat mengeluhkan bantuan yang tidak terealisasi dengan baik, dimana hanya sekali diberikan perusahaan pada 2017 silam. Setelahnya proses realisasi CSR ke masyarakat harus melalui pihak ketiga (vendor) yang dirasa menyulitkan masyarakat.

Pertambangan semestinya berjalan dengan prinsip good governance, di mana pemerintahan daerah dan perusahaan memastikan masyarakat sekitar tambang dapat hidup layak berdampingan dengan aktivitas tambang melalui pemenuhan hak-hak warga, yaitu akses informasi, layanan kesehatan, pendidikan, serta yang menjadi prioritas utama, keseimbangan lingkungan.

Sore itu kami meninggalkan gampong dengan segudang pekerjaan rumah, mengarahkan dan memperdalam pemetaan isu awal lebih ke aspek akuntabilitas sosial, termasuk bagaimana keterlibatan masyarakat dalam kebijakan/pemantauan alokasi penerimaan desa, pada perencanaan daerah dan anggaran, aspek sosial dan lingkungan sebagai bagian dari implementasi perizinan, serta partisipasi masyarakat dalam layanan publik di desa, sebelum menentukan instrumen akuntabilitas sosial dalam tata kelola pertambangan.