Merdeka.com – Air memiliki sumber energi air yang sangat esensial yakni dengan memanfaatkan sebagai penghasil energi listrik, atau biasa dikenal dengan Pembangkit Tenaga Listrik Air (PLTA). Air yang sangat berlimpah di indonesia juga dapat menjadi salah satu sumber energi baru terbarukan yang digagas oleh pemerintah Indonesia.

Melansir dari beberapa sumber, PLTA di Indonesia pertama kali ada di Sulawesi Utara bertempat di Desa Tonsealama Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa. PLTA yang ada di sana merupakan PLTA tertua yang dimiliki Indonesia yang dibangun pada tahun 1912 yang sudah ada sejak masa jaman Belanda.

PLTA yang tersebar di Indonesia yakni salah satunya ada di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Bengkulu, Sumatera Utara, Aceh Tengah, Sumatera Barat, Riau, Lampung.

Berdasarkan data kementerian ESDM, saat ini jumlah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA): 4.621 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) sebesar 411 MW. Adapun potensinya sendiri mencapai PLTA 75.000 MW dan PLTMH dan PLTM 19.385 MW. Jadi masih sangat jauh yang sudah digunakan. Kalau prosentase untuk PLTA baru 6.17 persen dari potensi sedangkan PLTMH dan PLTM 2.12 persen.

Pembangkit listrik tenaga air merupakan penyokong terbesar pembangkit EBT. Pada 2021, gabungan pembangkit listrik tenaga air mencapai 6.601,9 MW. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional 2017, potensi PLTA mencapai 94.476 MW. Dengan kapasitas yang sekarang, potensi PLTA yang termanfaatkan baru 6,99 persen.

Meskipun terbilang kecil, sumbangan PLTA terhadap total kapasitas pembangkit EBT tergolong besar. Berdasarkan data Kementerian ESDM per 2021, kontribusi PLTA dalam EBT mencapai 59 persen. Dalam RUPTL 2021-2030 juga disebutkan bahwa PLN menargetkan penambahan kapasitas PLTA sebesar 3.150 MW.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan kendala yang dihadapi dalam PLA yakni terkait pembebasan lahan, biaya investasi yang tinggi, tarif listrik yang masih belum ekonomis. Sehingga ROR investasi jangka panjang serta belum ada regulasi sekelas Undang-undang yang mengatur tentang energi baru terbarukan.

“Adapun kendala yang sering dihadapi adalah terkait dengan pembebasan lahan di mana dibutuhkan lahan yang luas, biaya investasi tinggi, isu sosial di masyarakat, tarif listrik yang masih belum ekonomis sehingga ROR investasi jangka panjang dan belum adanya regulasi sekelas UU yang mengatur tentang energi baru dan terbarukan,” ujar Mamit kepada Merdeka.com, Minggu (11/12).

Sumber: https://www.merdeka.com/uang/menengok-pemanfaatan-air-untuk-transisi-energi-di-indonesia.html