Jakarta –
Industri nikel bakal menjadi primadona di Indonesia. Apalagi seperti diketahui Indonesia merupakan negara penghasil nikel terbesar yang ada di dunia.

Pengamat Ekonomi dan Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi berpendapat nikel memiliki prospek yang sangat bagus dalam jangka panjang. Hal itu lantaran nikel tidak hanya bisa dijadikan bahan baku baterai kendaraan listrik saja, melainkan juga dipoles menjadi produk-produk lain bernilai ekonomi tinggi.

“Jangka panjang nikel memiliki prospek yang bagus. Kebijakan larangan ekspor ini sudah tepat, tapi tentu itu saja tidak cukup. Apalagi, produk turunan nikel juga berpotensi memiliki nilai ekonomi tinggi dan bisa meningkatkan devisa negara,” kata Fahmy dalam keterangannya, Minggu (6/11/2022).

Lebih lanjut, menurutnya, ada tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah agar industri nikel ke depan makin bersinar. Tidak hanya sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik saja, tapi juga mampu mengekspor produk kendaraan listrik.

Pertama, pemerintah perlu menciptakan serta menjaga ekosistem nikel, terutama bagaimana kapasitas produksi bisa dipenuhi dan sesuai target. Kedua, inovasi produk turunan nikel dengan memfokuskan pada riset dan pengembangan, serta berkolaborasi dengan banyak pihak.

Advertisement
“Ketiga dan yang cukup penting adalah adanya transfer teknologi. Kita punya sumber daya besar, tapi teknologinya masih perlu banyak belajar,” lanjut Fahmy.”Saya berkeyakinan harga mobil listrik bisa jauh lebih murah jika ekosistemnya berjalan dan komponen teknologi serta adanya komitmen bersama dari pemerintah,” lanjutnya.

Di sisi lain, kehadiran nikel serta produk turunannya yang lebih ramah lingkungan turut berkontribusi pada misi pemerintah yang menginginkan nol emisi karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060.

Meski tantangan yang dihadapi tidaklah mudah, namun misi tersebut bukan mustahil terwujud. Asalkan pemerintah memiliki komitmen bersama untuk merealisasikan hal itu.

“Komitmen Presiden Jokowi sangat tinggi, namun ini juga perlu didukung oleh para Menteri dan pemangku kebijakan di bawahnya. Jangan sampai ada kontradiksi kebijakan,” kata Fahmy.

Sementara itu, Holding BUMN Industri Pertambangan atau MIND ID mematok target pengurangan emisi karbon di tiap perusahaannya sebesar 28% pada 2030 mendatang. Direktur Hubungan Kelembagaan MIND ID Dany Amrul Ichdan menjelaskan upaya pengurangan emisi karbon yang ternyata telah dilakukan sejak 2020 lalu.

Menurutnya, grup MIND ID sudah mengimplementasikan program-program carbon reduction dan carbon offset yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sejumlah lebih dari 400 ribu ton C02e atau sebesar 28% dari target pengurangan emisi pada tahun 2030.

“Setiap Anggota memiliki target terhadap pengurangan carbon, sehingga target Net Zero Emission (NZE) di 2060 serta pengurangan carbon sebanyak 28 persen di 2030 dapat tercapai,” kata Dany.

Sementara, Deputy Head of Site PT Trimegah Bangun Persada (PT TBP) Primus Priyanto mengungkapkan bahwa saat ini pihaknya telah melakukan langkah untuk mendukung net zero emission (NZE). Langkah-langkah tersebut digolongkan dalam 3 prinsip utama yaitu, pengurangan atau mengontrol emisi, penggunaan energi terbarukan dan penyerapan gas buang.

Dia optimistis dengan beberapa upaya yang sudah dilakukan, dapat mengurangi emisi hingga 31% di tahun 2030.

Advertisement
“Salah satu langkah yang perlu dikaji secara komprehensif adalah peningkatan penggunaan energi terbarukan melalui penggunaan peralatan atau kendaraan listrik. Langkah ini perlu melibatkan banyak unsur, termasuk pelaku usaha (tambang) dan juga produsen peralatan tambang,” ujar Primus.

Sumber : https://finance.detik.com/energi/d-6390983/menakar-taji-industri-nikel-di-ri-bakal-cerah-atau-suram/2?jr=on