Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal mengevaluasi rencana pengembangan hilirisasi batu bara sejumlah perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) generasi pertama yang telah diperpanjang menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) menyusul lambannya program hilirisasi batu bara saat ini.
“Akan diverifikasi ke tiap perusahaan,” kata Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Irwandy Arif ketika dihubungi, Rabu (4/1/2023).
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, terdapat 11 perusahaan tambang yang berkomitmen untuk melakukan hilirisasi batu bara. Enam di antaranya berkomitmen untuk melakukan proyek gasifikasi batu bara dengan produk akhir dymethil ether (DME) dan methanol.
Keenam perusahaan itu meliputi PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Kaltim Nusantara Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Adaro Indonesia, dan PT Berau Coal. Proyek gasifikasi dari enam perusahaan itu ditaksir membutuhkan pasokan batu bara mencapai 19,17 juta ton setiap tahunnya.
Sisanya, PT Multi Harapan Utama, PT Kideco Jaya Agung, PT Megah Energi, dan PT Thriveni mengolah produk seperti semi kokas dan briket batu bara. Hanya tiga perusahaan yang disebut terakhir yang sudah berproduksi secara komersial.
“Tetapi proyek gasifikasi kita masih berharap supaya segera bisa selesai tentunya secara business-to-business yang terjadi di antara beberapa perusahaan,” kata Irwandy.
Menurut data Kementerian ESDM, total investasi yang dihimpun perusahaan tambang untuk melakukan proyek gasifikasi batu bara berada di rentang US$1,8 miliar hingga US$3 miliar.
Nilai itu terbilang besar yang ikut diperparah dengan kondisi ketergantungan teknologi dan manufaktur gasifikasi batu bara dari luar negeri.
“Kita berharap PTBA yang akan jadi pionir di sini, [PTBA] ada kerja sama dengan tiga pihak Pertamina dan Air Products. Sekarang ini memang sudah lebih dari setahun berproses mudah-mudahan bisa mencapai finalnya,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menampik anggapan lambannya kegiatan hilirisasi batu bara yang dilakukan oleh pemegang PKP2B dan IUPK itu.
Menurut Hendra, regulasi terkait dengan proyek hilirisasi batu bara baru diterbitkan pemerintah secara sah pada 2020 dan 2021 lalu lewat produk Undang-Undang No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Belakangan pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Perppu itu menegaskan kembali sejumlah insentif untuk mendukung program hilirisasi batu bara salah satunya lewat pengenaan iuran produksi atau royalti 0 persen.
“Kita tidak sepakat kalau progresnya dianggap lambat karena kan perangkat kebijakannya baru dikeluarkan tahun 2020 dan dipertegas Perppu kemarin,” kata Hendra saat dihubungi.
Seperti diberitakan sebelumnya, BUMN Holding Industri Pertambangan atau Mining Industry Indonesia (MIND ID) berharap pasokan batu bara untuk proyek gasifikasi PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) ikut mendapatkan subsidi melalui skema badan layanan umum batu bara.
Direktur Utama MIND ID Hendi Prio Santoso mengatakan, dukungan subsidi itu menjadi krusial untuk tetap menjaga arus kas serta kinerja PTBA pada proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) PTBA tersebut.
“Pasokan feedstock batu bara membutuhkan subsidi dan yang diusulkan pasokan batu baranya dimasukkan ke dalam konsep BLU [badan layanan umum] yang sedang diproses pemerintah sehingga Bukit Asam tidak harus menanggung kerugian secara ekonomis,” kata Hendi saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII di DPR, Jakarta, Kamis (24/11/2022).
Hendi mengusulkan agar insentif pasokan batu bara untuk proyek DME itu dapat diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) dan peraturan turunan lainnya yang akan dibuat untuk mempercepat penugasan PTBA pada program hilirisasi emas hitam tersebut.
Proyek hilirisasi batu bara yang ditarget beroperasi komersial atau commercial operation date (COD) pada kuartal IV/2027 itu menarik investasi awal dari Air Products & Chemical Inc (APCI) senilai US$2,1 miliar atau setara dengan Rp30 triliun.
APCI menggenggam saham mayoritas mencapai 60 persen dari proyek gasifikasi itu yang diikuti dengan PTBA dan PT Pertamina (Persero) masing-masing 20 persen. Sementara itu, masa kontrak APCI ditenggat selama 20 tahun dengan skema opsi build operate transfer (BOT) pada akhir kerja sama.
Dengan utilisasi 6 juta ton batu bara per tahun, proyek ini dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun.
Nantinya, Pertamina bakal menjadi penyalur atau distributor tunggal DME yang diproduksi dari proyek tersebut. Harapannya, Pertamina mendapat margin dari setiap penjualan produk substitusi LPG tersebut.