Publish What You Pay (PWYP) Indonesia selenggarakan diskusi daring dengan tema “Mainstreaming EITI terhadap Tata Kelola Sektor Sumber Daya Alam” pada Kamis (20/5/2021). Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, dalam sambutannya menyampaikan bahwa penyelenggaraan diskusi ini merupakan kerja sama PWYP Indonesia dengan Open Government Indonesia dalam merayakan Open Government Week (OGW) pada pekan 17-21 Mei 2021. “Mengapa kita mengusung tema Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI), karena EITI memiliki kesamaan dengan Open Government Partnership (OGP). Keduanya merupakan inisiatif global yang sama-sama mendorong isu keterbukaan dan kolaborasi antara masyarakat sipil dengan pemerintah,” jelas Aryanto. Menurutnya, baik di OGP maupun EITI terdapat mekanisme multi-stakeholder group (MSG)—sebuah model kolaborasi antarkelompok pemangku kepentingan yang mampu berkontribusi pada lahirnya berbagai inisiatif perbaikan tata kelola.
“Kita ketahui bersama bahwa EITI berperan dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas industri ekstraktif, sedangkan OGP mendorong keterbukaan pemerintah untuk tata kelola yang lebih baik. Di level global pun, OGP dan EITI telah menandatangani MoU untuk bersinergi, sehingga praktik-praktik baik keduanya bisa diselaraskan di berbagai negara yang menerapkan EITI dan OGP, termasuk Indonesia. Untuk EITI sendiri, kita ingin ke depannya mengarah ke agenda mainstreaming prinsip EITI ke tata kelola sektor SDA di Indonesia, tidak hanya terbatas pada melakukan rekonsiliasi laporan keuangan,” pungkas Aryanto.
Sampe L. Purba, Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Ekonomi dan SDA sekaligus Kepala Sekretariat EITI Indonesia hadir sebagai salah satu narasumber diskusi. Sampe menyampaikan bahwa langkah mainstreaming EITI akan terus didorong untuk meningkatkan kualitas data di sektor ekstraktif, termasuk mendorong data yang relevan dengan pemerintah daerah (Pemda). “Di masa di mana kita tidak bisa bertemu secara tatap muka, maka Pemerintah harus bisa menyediakan data online yang baik secara kualitas dan kuantitas. Data-data pelaporan EITI bisa dikembangakan di daerah dengan tahapan dan respon baik dari pemerintah daerah.”
Ia juga menambahkan bahwa ketidakjelasan data pada 15 sampai 20 tahun yang lalu menjadi tantangan tersendiri dalam tata kelola sektor ekstraktif di Indonesia. Konsekuensinya, pemerintah dianggap masih kurang transparan dalam penyediaan data. “Ini yang ingin dijawab oleh Pemerintah Indonesia melalui mainstreaming EITI dalam tata kelola SDA di Indonesia,” jelas Sampe.
Di akhir paparannya, Sampe menegaskan, “Dengan data terukur dan didukung oleh sistem seperti sekarang ini, tidak ada yang tidak mungkin. Diawali pembaruan data 3 bulanan sekali, data atau variabel-variabel data ini bisa tersedia dengan baik. Begitu juga dengan data dari Pemda, akan secara bertahap dapat disediakan dan diakses publik, tanpa mengurangi kualitas datanya.”
Mukhlis Ishak, perwakilan Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA) dalam Tim Pelaksana EITI Indonesia sekaligus VP Tax PT Freeport Indonesia menjelaskan bahwa belum semua perusahaan pelapor EITI menyediakan informasi sesuai standar EITI sehingga akan terus diupayakan untuk ditingkatkan. Lebih lanjut, Muklis menambahkan, transparansi adalah kunci untuk menumbuhkan kepercayaan publik kepada perusahaan. Salah satunya adalah bagaimana perusa dituntut untuk terus meningkatkan aksesibilitas dan standar masa relevansi data, sehingga data harus terus diperbarui. “Untuk meningkatkan kecepatan ketersediaan data ke dalam ruang publik, kita sudah ada inisiatif untuk menyediakan data yang terintegrasi dan mudah diakses untuk publik,” pungkas Muklis.
Gay Ordeness, Direktur Asia Pacific EITI Internasional menuturkan, mainstreaming EITI adalah bagaimana data-data industri ekstraktif yang selama ini dilaporkan dan dipublikasikan melalui laporan EITI. Ke depannya bisa dikembangkan dan diintegrasikan melalui sistem transparansi data di perusahaan dan pemerintah, dengan menambahkan relevansi datanya. Selain itu pembahasan mainstreaming itu secara tahapannya dilakukan oleh multi-stakeholder group (MSG).
Tenti Novari Kurniawati, perwakilan masyarakat sipil dalam tim pelaksana EITI Indonesia sekaligus Direktur IDEA Yogyakarta, mengatakan bahwa sampai hari ini, akses data sektor ekstraktif belum bisa dikatakan valid. “Karenanya, kita harus mengakses atau mengolah data secara mandiri untuk melakukan advokasi. Karena data harus bersifat mudah diakses, sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat,” tutur Tenti. Pada prinsipnya data harus disediakan di berbagai platform perusahaan maupun pemerintah, khususnya data pendapatan dari sektor industri ekstraktif. Hal ini penting bagi masyarakat untuk menilai sejauh mana kontribusi sektor ini bagi kesejahteraan mereka.
“Saya kira dalam rangka meningkatkan informasi publik, maka perlu memperkuat pengarusutamaan (mainstreaming) sistem yang mengharuskan pemerintah dan perusahaan mengintegrasikan atau mengungkapkan secara sistematis informasi-informasi yang bersifat publik. Sehingga ketika perangkat-perangkat itu terbangun dengan baik, maka masyarakat tahu bahwa pemerintah sudah membangun sistem transparansi yang sangat baik di bidang industri ekstraktif,” tutup Tenti.
Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) adalah sebuah standar global bagi transparansi di sektor ekstraktif (termasuk di dalamnya minyak, gas bumi, mineral dan batubara). Indonesia mengadopsi EITI melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang diperoleh dari dari Industri Ekstraktif yang kemudian diperbaharui dengan Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Open Government Partnership (OGP) adalah inisiatif multilateral yang bertujuan untuk komitmen konkret aman dari pemerintah nasional dan subnasional untuk mempromosikan pemerintahan yang terbuka, warga memberdayakan, pertarungan korupsi, dan memanfaatkan teknologi baru untuk memperkuat pemerintahan dalam semangat kolaborasi multi-stakeholder.