Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia dinilai sukses dalam menjalankan program hilirisasi komoditas tambang, khususnya nikel, di dalam negeri. Meski harus melarang ekspor bijih nikel pada 2020 lalu, namun nyatanya kebijakan ini berhasil mendorong berkembangnya industri hilir nikel di Tanah Air.

Dengan pelarangan ekspor bijih nikel itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyebut bahwa Indonesia mendapatkan lompatan nilai tambah yang signifikan. Dari yang sebelumnya hanya berkisar Rp 17 triliun per tahun menjadi Rp 360-an triliun pada tahun 2021.

Pada 2022 bahkan nilai tambah dari komoditas nikel semakin meningkat menjadi sebesar US$ 33 miliar atau sekitar Rp 514 triliun.

Tak tanggung-tanggung, pada 2023 ini nilai tambah dari industri nikel diperkirakan bisa semakin meningkat lagi hingga US$ 38 miliar atau Rp 592,2 triliun (kurs Rp15.585 per US$). Hal tersebut sempat diungkapkan oleh Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) Septian Hario Seto.

“(Tahun ini) sekitar US$ 35-38 miliar,” beber Seto kepada CNBC Indonesia, saat ditanya mengenai target nilai tambah hilirisasi nikel tahun 2023, dikutip Rabu (11/1/2023).

Dia juga menyebutkan bahwa melonjaknya target nilai tambah hilirisasi nikel pada tahun ini dipicu oleh bertambahnya volume ekspor produk hasil turunan nikel.

Kesuksesan hilirisasi nikel RI ini juga diakui oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI). Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, program hilirisasi atau pemurnian komoditas nikel menunjukkan keberhasilan yang besar.

Bahkan, menurutnya keberhasilan hilirisasi nikel dalam negeri sudah terlalu “over”.

“Kalau kita review dulu, sejak pemberhentian ekspor (bijih nikel) di tahun 2020 awal yang akhirnya kita dapat gugatan WTO. Sebenarnya, program hilirisasi nikel ini sudah teramat berhasil. Malah bagi kami ini terlalu over,” tuturnya dalam Mining Zone CNBC Indonesia, dikutip Jumat (13/1/2023).

Keberhasilan hilirisasi nikel ini menurutnya dibuktikan dengan banyaknya pabrik pengolahan nikel yang bermunculan.

Meidy menyebutkan bahwa diperkirakan ada 43 pabrik pengolahan nikel hingga 2023 ini. Bahkan, jumlah ini diperkirakan akan semakin meningkat lagi. Pada 2025, dia memperkirakan akan terdapat 136 pabrik pengolahan nikel beroperasi di Indonesia.

“Pabrik industri nikel yang sudah berproduksi di Indonesia dan yang akan berproduksi itu yang saat ini sampai tahun 2023 saja sudah sekitar 43 pabrik pengolahan nikel. Nanti tahun 2025 dan seterusnya itu akan terbangun 136 pabrik,” jelasnya.

Meidy mengatakan, keberhasilan hilirisasi nikel juga dibuktikan dengan konsumsi bijih nikel dalam negeri yang akan terus bertambah. Pada tahun ini konsumsi bijih nikel di Indonesia diperkirakan bisa mencapai 145 juta ton bijih nikel.

Tak berhenti di situ, bahkan sampai tahun 2025, konsumsi bijih nikel di dalam negeri diperkirakan akan semakin meroket hingga 400 juta ton per tahun.

“Di tahun 2025 sendiri itu, (Indonesia) akan mengkonsumsi sekitar 400 juta ton bijih nikel per tahun. Tahun ini saja, tahun 2023 akan mengkonsumsi sekitar 145 juta ton bijih nikel. Kita lihat bahwa hilirisasi nikel sudah sangat amat berhasil,” tambahnya.

Dengan begitu, Meidy menilai bahwa pengusaha nikel sangat dan akan terus mendukung program pemerintah dalam hilirisasi komoditas nikel.

Namun sayangnya, di tengah kabar baik berkembangnya industri hilir nikel di Tanah Air, ada kabar tak sedap yang mewarnainya. Dalam dua bulan terakhir ini secara berturut-turut telah terjadi insiden kebakaran dan juga memakan korban jiwa pada salah satu perusahaan smelter nikel di Morowali Utara, Sulawesi Tengah.

Setidaknya dikabarkan empat orang meninggal dunia dari dua tragedi selama dua bulan terakhir ini.

Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20230116141122-4-405785/kesuksesan-hilirisasi-nikel-ri-dinodai-tragedi-berujung-maut