KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, saat ini 90% smelter nikel di Indonesia menggunakan teknologi pirometalurgi atau Rotary Klin-Electric Furnace (RKEF) yang berasal dari China. Laris-masinya penggunaan teknologi ini lantaran investasinya relatif lebih murah dibandingkan smelter hidrometalurgi.

Staf Khusus Percepatan Bidang Tata Kelola Minerba Kementerian ESDM, Irwandy Arif menjelaskan hilirisasi nikel di Indonesia saat ini hampir 100% menggunakan teknologi RKEF yang akan menghasilkan nikel pig iron (NPI) dan Feronikel.

“Nah yang masuk smelter-smelter kerja sama ya 90% dari China karena memang murah (investasinya). Bisnis Industri tambang itu pasti cari yang murah,” jelasnya saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (18/8).

Sementara itu ada beberapa perusahaan yang tidak menggunakan teknologi dari China yakni PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang membangun smelter nikelnya dengan teknologi dari Kanada.

Dalam catatan ESDM, saat ini sudah ada 33 smelter berteknologi pirometalurgi yang telah beroperasi dan menghasilkan hingga 115,45 juta metrik ton NPI. Adapun sebanyak 37 smelter yang akan memproduksi 90,88 juta MT sedang proses konstruksi dan 27 smelter rencana dibangun.

Namun, lanjut Irwandy, ke depannya akan ada partner-partner lain, di luar China, yang turut berkontribusi mendorong hilirisasi nikel di Indonesia. Terutama ketika smelter RKEF akan dibatasi, proses hilirisasi di dalam negeri akan semakin jauh hingga dapat memproduksi baterai.

Saat ini Kementerian ESDM mengkhawatirkan laju konsumsi bijih saprolite yang semakin masif karena menjamurnya smelter RKEF di Indonesia.

Maka itu, Menteri ESDM sudah melakukan imbauan kepada pelaku usaha perihal pembatasan pembangunan smelter RKEF.

“Himbauan ini karena konsumsi bijih saprolitenya luar biasa, ini yang harus kita perhatikan. Tetapi yang sudah disetujui saya kira tetap jalan (pembangunannya) terutama masih dalam program strategis nasional (PSN),” jelasnya.

Sumber: Industri Kontan