TEMPO.CO, Jakarta – Peneliti Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna menyebut penggunaan teknologi—seperti aplikasi MyPertamina—bukan kunci utama keberhasilan pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tepat sasaran. Putra mencontohkan proyek Radio Frequency Identification (RFID) yang disetop pada 2016 setelah BBM jenis premium tidak lagi disubsidi.
“Kunci utamanya adalah komitmen yang kuat untuk berlanjut dalam melakukan pengendalian pendistribusian BBM subsidi,” kata Putra dalam diskusi publik INDEF bertajuk Masa Depan Subsidi BBM: Urgensi Penguatan Regulasi dan Pemanfaatan Teknologi, yang digelar secara virtual pada Senin, 27 Maret 2023.
Menurut dia, konsisten penerapan kebijakan pemerintah lebih perlu diprioritaskan dari pada penggunaan teknologi, “Jadi, penting buat bicara konsistensi ke depan, sebelum bicara teknologi,” jata dia.
Putra khawatir jika terjadi kendala, meski hanya satu kasus, dapat membatalkan program yang sudah kadung berjalan. Karena itu, dia berharap Pertamina menjalankan program subsidi tepat sasaran melalui MyPertamina secara pelan-pelan, tetapi konsisten. “Tidak terlalu impulsive ke depan,” ucapnya.
Langkah tersebut, menurut Putra, bisa dimulai dengan berfokus pada wilayah dan SPBU dengan imbas terbesar. Artinya, Pertamina tidak perlu buru-buru berfokus ke seluruh wilayah Indonesia sekaligus. Sebab dia khawatir ada tendangan balik dari masyarakat yang tidak sepakat—yang memicu pemerintah melakukan pembatalan.
Putra juga khawatir langkah yang terburu-buru justru membebankan tanggung jawab kepada garda terdepan. Dalam hal ini, petugas SPBU yang sehari-hari berhadapan dengan masyrakat atau konsumen. “Kita sempat mendengar kasus petugas (SPBU) dipukul karena tidak diberi BBM subsidi. Kita harus hati-hati karena yang mereka hadapi setiap hari tidak sama. Tidak mudah bagi mereka,” tuturnya.
Sumber: Tempo.co