Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung soal VOC dan kompeni usai adanya ekspor paksa setelah gugatan dari Uni Eropa ke Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor bijih nikel yang diterapkan pemerintah sejak 2020.
“Dulu jaman VOC, jaman kompeni itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Jaman modern ini muncul lagi, ekspor paksa,” kata Presiden Jokowi dalam Kompas100 CEO Forum di Istana Negara, Jakarta, Jumat (2/12) lalu.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia seharusnya dapat memainkan posisi penting tersebut.
Menyikapi gugatan EU yang didukung WTO tersebut tidaklah semata-mata soal regulasi perdagangan internasional, tetapi benar soal kemandirian bangsa untuk mengelola sumber daya alamnya.
Menurutnya, Pemerintah harus konsisten dan mencari strategi yang tepat untuk mempertahankan soal kemandirian tersebut. “Saya melihatnya ini tidak sekadar partarungan UE dan Indonesia, tapi proxy pertarungan tiga besar UE, Amerika, dan Tiongkok.
Sepertinya Indonesia bisa lebih cepat mengembangkan industri baterai dengan Tiongkok dan tentu kan UE dan Amerika tidak akan suka,” papar Aloysius saat dihubungi Minggu (4/12).
Aloysius menekankan Indonesia semestinya bisa melakukan diplomasi di antara tiga kekuatan dunia tersebut sehingga bisa mendapat keuntungan terbaik dari posisi Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar.
“Pak Jokowi saya lihat berani untuk tiki taka dengan Uni Eropa dan WTO. Kita menunggu langkah cerdas Presiden untuk masa depan energi terbarukan di Indonesia,” tandas Aloysius Gunadi Brata.
Dalam pidatonya tersebut di atas, Presiden Jokowi menekankan bijih nikel yang dilarang ekspor itu adalah kekayaan alam Indonesia. Karena itu, dia mempertanyakan mengapa kewenangan pemerintah Indonesia terhadap kekayaan alamnya sendiri digugat.
“Karena ini ceritanya belum rampung kalau kita berhenti. Ya, ekosistem besar yang kita impikan ini tak akan muncul,” kata Presiden.
Larangan ekspor bijih nikel yang diterapkan sejak 2020 ditujukan untuk mendorong proses hilirisasi nikel yang dapat menciptakan produk turunan untuk produksi baterai kendaraan listrik.
Pemerintah ingin membentuk ekosistem kendaraan listrik sehingga perlu produk turunan nikel sebagai bahan baku. Selain itu, hilirisasi barang tambang seperti nikel, akan menciptakan banyak lapangan kerja dan meningkatkan nilai ekspor.
“Ekosistem seperti cip, seperti komponen digital tadi. Ekosistem besar karena sekali lagi nikel itu kita nomor, reserve (cadangan nikel) kita nomor satu. Timah nomor dua, bauksit nomor enam, tembaga nomor tujuh dunia. Punya semuanya. Membangun ekosistem electric vehicle (kendaraan listrik) baterai itu kita hanya kurang litium,” kata Presiden.