Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan pemerintah berencana untuk melarang ekspor komoditas emas, selain bauksit, tembaga, maupun timah.
Hal ini menyusul kesuksesan kebijakan larangan ekspor pada komoditas bijih nikel, di mana hilirisasi nikel berjalan mulus di Tanah Air sejak ekspor bijih nikel dilarang pada 2020 lalu.
Presiden Joko Widodo mengungkapkan hilirisasi yang dilakukan pada komoditas nikel telah membuahkan hasil mencapai US$ 30 miliar, dibandingkan sebelumnya “hanya” US$ 1,1 miliar saat Indonesia masih mengekspor bahan mentah.
“Kemudian nanti lari ke bauksit, timah, dan tembaga, kemudian lari ke emas, lari ke gas alam dan minyak,” ungkap Jokowi dalam ‘Pertemuan Industri Jasa Keuangan’, di Jakarta, Senin (6/2/2023).
Presiden mengungkapkan, jika kebijakan ini konsisten dijalankan, maka akan menjadikan Indonesia sebagai negara maju.
“Ini harus terus konsisten kita dorong, dan naik terus PDB kita, sehingga kita harapkan betul bisa melompat maju ke depan dan hilirisasi menjadi kunci bagi negara ini kalau kita ingin menjadi negara maju,” tuturnya.
Lantas, mengapa ekspor emas akan ikut dilarang? Apakah emas termasuk komoditas mentah, sehingga harus dilarang?
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba) Irwandy Arif menyebutkan bahwa Indonesia memiliki hasil tambang yang sudah melewati tahap pemurnian, yaitu timah dan emas.
“Semua komoditas tambang kita yang sudah sampai tahap pemurnian itu adalah timah dan emas,” ungkap Irwandy kepada CNBC Indonesia dalam Mining Zone, dikutip Rabu (8/2/2023).
Dia mengatakan, emas yang sudah melalui proses pemurnian memiliki kadar mencapai 99,99%. Sedangkan untuk jenis timah, Irwandy mengatakan, timah batangan sudah memiliki kandungan 99,99% logam juga.
“Emas malah sudah kita ketahui sampai 99,99% kadar emasnya, sudah ada pabriknya di Pulo Gadung oleh Antam. Kemudian timah batangan sudah 99,99%. Itu kondisi yang ada saat ini,” paparnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli mengatakan Indonesia merupakan negara yang sedikit menyimpan emas sebagai cadangan devisa negara. Dia mengatakan, Indonesia berada di urutan ke-45 negara yang menyimpan devisa dalam bentuk emas.
“Saat ini cadangan emas yang dimiliki oleh Bank Indonesia masih tergolong sedikit, sekitar 78,6 ton, dibandingkan negara-negara lain. Indonesia berada di urutan 45 sebagai pemilik cadangan emas terbesar dunia,” ungkap Rizal kepada CNBC Indonesia, Selasa (7/2/2023).
Dia mengatakan, negara lain lebih banyak dalam menyimpan devisa negara dalam bentuk emas. Seperti yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat yang memiliki cadangan emas sebagai devisa terbanyak di dunia sebesar 8,1 ribu ton.
Diikuti oleh negara Jerman yang memiliki emas sebanyak 3,3 ribu ton. Juga beberapa negara lain seperti Italia, Perancis, Rusia, China, Swiss dan Jepang.
“Delapan negara terbesar yang memiliki cadangan emas terbesar yaitu USA, Jerman, Italia, Perancis, Rusia, China, Swiss dan Jepang dengan masing-masing memiliki 8.133 ton, 3.355 ton, 2.451 ton, 2.436 ton, 2.298 ton, 1.948 ton, 1.040 ton dan 846 ton,” jelas Rizal.
Padahal, bila dibandingkan dengan produksi emas di Indonesia, terhitung sedikit emas yang dijadikan sebagai devisa negara. Rizal membeberkan, produksi emas di Indonesia mencapai 70 ribu ton per tahun. Hasil produksi tersebut justru banyak diekspor ke manca negara terutama Hongkong juga India.
“Produksi emas Indonesia berkisar antara 60 ribu hingga 70 ribu ton per tahun dan sebagian besar diekspor ke manca negara terutama Hongkong, India dan negara lain. Penggunaannya sebagian besar adalah untuk perhiasan, simpanan dan cadangan emas atau devisa di Bank Sentral,” bebernya.