Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Perdagangan RI membeberkan bahwa Amerika Serikat (AS) bukanlah negara tujuan utama ekspor produk hasil hilirisasi nikel Indonesia. Melainkan, AS merupakan negara penikmat terbesar ke-7 produk nikel RI.

Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional Bara Krishna Hasibuan menyebut, produk nikel RI paling banyak diekspor ke China, lalu ke Korea Selatan, Jepang, Malaysia, dan Norwegia.

“Kita tidak bisa mengekspor nikel dalam bentuk raw material, itu harus diolah, itu kan macam-macam. Nah dari beberapa produk itu yang diolah di Indonesia itu, secara keseluruhan tujuan Amerika itu adalah tujuh terbesar. No. 1 adalah Tiongkok, kedua Korea Selatan, ketiga Jepang, keempat Malaysia, kelima Norway, jadi Amerika itu nomor 7,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia dalam program ‘Mining Zone’, dikutip Selasa (11/4/2023).

Dengan demikian, Bara menilai bahwa “pengucilan” Amerika Serikat terhadap nikel Indonesia tidak akan membuat perubahan signifikan bagi industri nikel di dalam negeri.

“Kalau memang kita nggak masuk dalam fasilitas IRA ini, itu sebetulnya juga dampaknya terhadap industri nikel Indonesia sebetulnya nggak signifikan,” tandasnya.

Seperti diketahui, Indonesia tengah diperlakukan tidak adil oleh Amerika Serikat. Pasalnya, baterai maupun kendaraan listrik yang mengandung komponen nikel Indonesia dikabarkan tidak akan diberikan paket subsidi hijau oleh Pemerintah AS.

Melalui undang-undang baru Inflation Reduction Act (IRA), AS diketahui bakal memberikan kredit pajak atas pembelian mobil listrik. Undang-undang ini mencakup US$ 370 miliar dalam subsidi untuk teknologi energi bersih.

Namun demikian, insentif ini dikhawatirkan tidak berlaku atas mobil listrik dengan baterai yang mengandung komponen nikel dari Indonesia. Alasannya, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pun turut buka suara terkait isu “pengucilan” AS terhadap nikel RI ini.

Atas isu tersebut, Menko Luhut mengungkapkan dirinya akan ke AS pada pekan ini untuk bernegosiasi terkait hal ini. Bila nantinya AS tidak mau bersepakat dengan Indonesia dan tetap “mengucilkan” nikel RI, maka menurutnya mereka sendiri yang akan merugi.

“Kita akan bicara (dengan AS), karena kalau tidak, mereka akan rugi juga dan green energy yang kita punya untuk proses prekursor katoda itu mereka nggak dapat dari Indonesia karena kita nggak punya free trade agreement dengan mereka,” tegasnya saat konferensi pers di gedung Kemenko Marves, Senin (10/4/2023).

Dalam kunjungan kerja ke AS ini, Luhut juga dijadwalkan akan bertemu dengan pabrikan otomotif “raksasa” Tesla dan Ford.

Luhut menilai, yang akan dilakukan Indonesia saat ini yaitu mencoba melakukan negosiasi dan mencapai kesepakatan dengan AS. Hal ini juga yang dilakukan Jepang beberapa waktu lalu.

“Saya bilang seperti Jepang, kita juga sudah ke Amerika. Kalau mau kesepakatan, ya kalau gak mau kan mau diapain lagi. Tapi kan yang rugi mereka juga,” tuturnya.

Namun demikian, Luhut mengatakan optimismenya bahwa kesepakatan Indonesia dan AS terkait nikel ini bisa tercapai.

“Tapi saya kira akan ada mungkin agreement dengan kita,” imbuhnya.

Sumber: CNBC Indonesia