KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah meramu strategi untuk menghadapi semakin mahalnya harga bahan bakar minyak (BBM) seiring dengan naiknya kebutuhan dan menanjaknya harga minyak mentah dunia.
Semakin mahalnya harga minyak juga dapat dilihat pada harga rata-rata minyak mentah Indonesia bulan Oktober 2022 yang naik dibandingkan bulan sebelumnya. Berdasarkan perhitungan formula Indonesian Crude Price (ICP), rata-rata ICP bulan Oktober 2022 mencapai US$ 89,10 per barel, naik sebesar US$ 3,03 per barel dari US$ 86,07 per barel pada bulan September 2022.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana mengatakan, pihaknya rutin memantau kenaikan harga minyak mentah karena ini merupakan komoditas yang terekspos ke harga pasar.
“Maksudnya ini tidak bisa ditentukan di dalam, kalaupun ditentukan yang harus bayar masyarakat atau pemerintah, atau dua-duanya,” ujarnya saat ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (6/11).
Maka itu tindak lanjut untuk menghadapi kenaikan harga minyak adalah dengan mengembangkan bahan bakar alternatif. Rida bilang, upaya ini agar ketergantungan Indonesia terhadap luar negeri berkurang.
Misalnya saja, saat ini Kementerian ESDM sedang gencar mendorong pemanfaatan B40 pada kendaraan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, B40 bisa merespons kebutuhan energi kendaraan dalam waktu dekat ini.
“Mata kita sekarang baru terbuka di tengah krisis konflik Rusia sama Ukraina yang menyebabkan kesulitan pasokan energi khususnya migas karena sumber migas yang banyak di Rusia tidak bisa dimanfaatkan lalu kemudian produsen migas, OPEC+ itu mengurangi produksinya,” jelasnya beberapa waktu lalu.
Saat ini, kata Arifin, merupakan waktu yang tepat untuk mengembangan energi baru terbarukkan untuk mencukupi kebutuhan BBM dalam negeri yang selama ini dipenuhi melalui impor.
Dia memberikan gambaran, saat ini produksi minyak kita kira-kira 650.000 barel per hari sedangkan kebutuhan Indonesia 1,3 juta barel per hari.
“Apa jadinya kalau kita tidak bisa beli yang 650 ribu barel karena tidak ada pasokan. Apalagi kemampuan kita itu cuma 50%, Separuhnya kebutuhan kita dipenuhi dari minyak impor,” tambahnya.
Maka itu, Indonesia harus berbenah, buru-buru untuk bisa mencoba memanfaatkan sumber-sumber energi yang terbarukan.
Arifin juga mengatakan, ekosistem dunia persawitan sudah berjalan untuk mengatasi keterantungan terhadap energi fosil dan Indonesia memiliki kemampuan untuk dengan luas lahan yang tersedia. Selain sawit sumber energi lain yang juga sedang dikembangkan adalah ethanol.
Selain mengembangkan B40, Indonesia juga sedang berupaya mengembangkan bioethanol.
Bioethanol merupakan jenis bahan bakar nabati yang diproduksi dari tumbuhan seperti umbi-umbian, jagung, atau tebu.
Arifin menyatakan, potensi pengembangan ethanol di Indonesia cukup besar. Total luas daratan di Indonesia mencapai 191 juta hektar di mana dari sisi tanah lebih subur jika dibandingkan dengan Brasil yang sudah sukses mengembangkan bioethanol. Meski jenis tanah lebih subur, Indonesia kudu banyak belajar metode dari negara lain.
Belum lama ini, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah melaksanakan revitalisasi industri gula nasional yang salah satu tujuannya juga mendukung produksi bioethanol berbasis tebu dalam rangka ketahanan energi, dan pelaksanaan energi bersih melalui penggunaan bahan bakar nabati (biofuel).
Revitalisasi industri gula dilakukan dengan membentuk PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) yakni gabungan 7 PTPN dan anak PTPN, serta 2 cucu perusahaan. SGN akan menggarap lahan 700.000 hektare (ha) untuk ditanami tebu mulai tahun ini. Revitalisasi ditargetkan membawa Indonesia mencapai swasembada gula konsumsi tahun 2028.
Dengan revitalisasi ini, produksi gula nasional ditargetkan naik secara bertahap dari saat ini 2,35 juta ton per tahun menjadi 4,73 juta ton sampai 5,7 juta ton per tahun.
Baru-baru ini Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) secara resmi memulai program “Bioetanol Tebu untuk Ketahanan Energi” di Jawa Timur.
Dilansir dari website Sekretariat Kabinet, Jokowi memulai program bioetanol tebu untuk ketahanan energi di pabrik bioetanol PT Energi Agro Nusantara (Enero), Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.