Jakarta, CNBC Indonesia – Harga batu bara terus menggila dengan menguat terus menerus. Si pasir hitam bahkan mencatatkan rekor kenaikan harga 12 hari beruntun, sehingga menjadi yang terpanjang sejak Desember 2009 atau 13 tahun terakhir.

Melesatnya harga komoditas fosil ini di luar perkiraan karena pada 13 Juli 2023 harganya pernah terjerembab ke US$ 127,15 per ton, terendah sejak 29 Juni 2021 atau dua tahun terakhir.

Namun, harga batu bara kembali merangkak naik dari fase paling pesimis telah kembali rebound 24,1% menjadi US$ 164,75 sampai hari ini. Posisi saat ini merupakan yang tertinggi sejak 5 Mei 2023 atau 3 bulan terakhir.

Terdapat beberapa faktor signifikan harga batu bara ICE Newcastle kontrak September ini dapat kembali pulih. Penyebab utamanya berasal dari China sebagai konsumen 56% dari pasar global telah mengalami perbaikan permintaan.

1. Heatwaves menjadi katalis perbaikan ekonomi China pasca lockdown

Gelombang panas (heatwaves) yang terjadi di China menjadi katalis utama permintaan batu bara China kembali melonjak akibat tingginya penggunaan pendingin ruangan. Sebelumnya, Negeri Tirai Bambu sempat kesulitan untuk memulihkan ekonominya akibat lock down yang diterapkan sejak awal tahun.

Perlambatan ekonomi China menyebabkan penggunaan energi berkurang, sehingga permintaan batu bara menurun. Kendati demikian, gelombang panas berhasil menyelamatkan permintaan batu bara dari konsumen terbesar dunia ini.

Otoritas China pada Senin (17/7/2023) menyebut adanya cuaca ‘neraka’, di mana suhu telah mencapai rekor 52,2 derajat Celcius (126 derajat Fahrenheit) di barat laut negara itu selama akhir pekan.

Di sisi lain, suhu panas juga menjadi penyebab kekeringan pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) China. Permasalahan ini menyebabkan penggunaan pembangkit listrik berbasis batu bara lebih gencar, sehingga permintaan kembali membaik.

Selain itu, pemerintah China juga menetapkan pemangkasan suku bunga bulan Agustus sebesar 10 basis poin menjadi 3,45% yang diharapkan menstimulasi perekonomiannya. Industri yang kembali bergeliat akan meningkatkan kebutuhan energi pada sektor bisnis, sehingga harga ikut terdorong.

Data dari Administrasi Umum Kepabeanan China yang dirilis pada Minggu menunjukkan bahwa China mengimpor sebanyak 6,31 juta metrik ton batu bara Australia bulan lalu, naik dari 4,83 juta ton pada bulan Juni, dan mencapai angka tertinggi dalam tiga tahun.

Foto: (REUTERS/THOMAS PETER) Warga China bertelanjang dada saat suhu panas menerjang. (REUTERS/THOMAS PETER)

Warga China bertelanjang dada saat suhu panas menerjang. (REUTERS/THOMAS PETER)Foto: (REUTERS/THOMAS PETER)
Warga China bertelanjang dada saat suhu panas menerjang. (REUTERS/THOMAS PETER)

2. Ancaman gas Australia menjelang musim dingin Eropa

Eropa yang sedang bergantung pada Australia akibat adanya pemotongan pasokan gas dari Rusia sedang menghadapi ancaman kedinginan pada akhir tahun nanti. Kekhawatiran Eropa semakin memuncak, sebab tiga titik tambang gas Australia ada kemungkinan berhenti berproduksi.

Kemungkinan berkurangnya pasokan gas Australia disebabkan serikat pekerja mengajukan pemogokan akibat ketidakpuasan terhadap tingkat gaji dan kondisi kerja.

Pada Minggu (20/8/2023), salah satu aliansi pekerja dari produsen LNG terbesar Australia, Woodside Energy Group, mengumumkan keputusan mereka untuk melakukan pemogokan serikat pekerja gas lepas pantai di Barat Laut.

Sementara itu, grup Chevron juga tengah menghadapi situasi serupa dan tengah menggelar pemungutan suara mengenai potensi pemogokan di fasilitas Wheatstone dan Gorgon LNG, dengan hasil yang dijadwalkan akan diumumkan pada Kamis (24/8/2023).

Pemogokan yang diumumkan oleh Woodside direncanakan akan dimulai pada 2 September 2023, dengan serikat kerja Chevron diharapkan untuk mengikuti jejak rekannya di Woodside.

Penerapan pemogokan ini dijadwalkan akan dilakukan tujuh hari setelah keputusan terbentuk. Situasi ini memiliki potensi untuk menciptakan gangguan dalam pasokan energi global. Pasalnya, ketiga kilang LNG di Australia Barat berkontribusi sekitar 10% dari total pasokan dunia.

Gangguan pasokan gas turut berpartisipasi terhadap kenaikan batu bara, sebab ini akan mendorong spekulasi terhadap sumber energi substitusinya. Harga gas alam Eropa EU Dutch TTF (EUR) tembus level psikologis EUR 40 per MWh. Harga melesat 5,22% ke 42,91 euro per mega-watt hour (MWh).

3. Kekeringan di Terusan Panama

Perlambatan ekonomi Amerika Serikat (AS) akibat kebijakan kenaikan suku bunga menyebabkan cadangan batu bara miliknya dapat ditujukan untuk pasar ekspor. Kendati demikian, AS juga dihadapkan dengan malapetaka iklim dengan mengeringnya Terusan Panama.

Hal inimenyebabkan gangguan rute dan penundaan pengiriman batu bara AS dengan tujuan pasar global. Permasalahan logistik ini berdampak pada tarif pengangkutan dan juga menjadi ancaman gangguan rantai pasokan.

Melansir Oil Price, BRS melaporkan awal bulan ini bahwa “kapal bermuatan batu bara keluar dari Atlantik menyimpang dari rute Terusan Panama pilihan mereka karena meningkatnya waktu transit. Setiap perubahan pada rute perdagangan fronthaul akan meningkatkan hari pelayaran dari sekitar 35 hari melalui Terusan Panama menjadi 50 hari melalui Terusan Suez untuk batubara yang dimuat di pelabuhan AS di Burnside [Louisiana] untuk dibuang di Rizhao, Tiongkok.”

Foto: (AP/Arnulfo Franco) Terusan Panama di Amerika dilaporkan mengering. Hal ini mempengaruhi kapal-kapal ekspor impor yang ingin melintas di jalur transportasi dan logistik penting dunia. (AP/Arnulfo Franco)

Volume batu bara lintas laut diperkirakan mencapai 1.335.000 juta metrik ton tahun ini, melampaui rekor tahun 2019 sebesar 1.331.000 ton, kata IEA dalam prospek tengah tahun yang baru dirilis.
IEA juga memperkirakan bahwa permintaan batubara global akan lebih tinggi 8,39 juta ton tahun ini, dibanding tahun lalu yang tertinggi sepanjang masa.

Gangguan rantai pasok akan menghambat persediaan batu bara global. Hal ini disinyalir turut menjadi faktor harga komoditas energi terefisien melesat.

4. India akan kembali impor?

Konsumen dan produsen batu bara terbesar kedua dunia ini memang terpantau telah memiliki pasokan batu bara yang cukup dalam beberapa bulan terakhir. Kementerian Batubara India mengatakan bahwa saat ini tersedia 77 juta ton bahan bakar kering yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sektor ketenagalistrikan dengan perkiraan 40 hari.

Namun, tanpa adanya tambahan produksi signifikan dan tambahan impor, penggunaan intensif akan menyisakan batu bara sebanyak 1,5 juta ton.

India perlu melakukan impor kembali untuk mengamankan kebutuhan. Hal ini akan mengurangi pasokan global. Peningkatan kembali permintaan India sebagai konsumen terbesar kedua akan berpengaruh signifikan untuk turut mendorong harga batu bara menguat.

Sumber: CNBC Indonesia