TEMPO.CO, Jakarta – Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Eddy Soeparno menginginkan skema power wheeling tetap dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Enerbi Baru dan Terbarukan atau RUU EBT. Sebab, Indonesia harus mengejar bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025 mendatang.

Eddy menyebut ada jalan tengah yang nantinya bisa disepakati dengan pemerintah. “Dengan melihat dan mencermati overcapacity di PLN, saat ini bagaimana kita sekarang bisa melakukan power wheeling di daerah-daerah yang belum terjangkau, daerah-daerah yang ada sumber energi tapi masih harus dieksplorasi,” kata Eddy di Jakarta, Senin, 6 Februari 2023.

“Itu sedang kami pertimbangkan dan masuk pendalaman yang sedang kami lakukan,” imbuhnya.

Menurut Eddy, skema power wheeling diperlukan untuk mengakselerasi industri EBT. Dia memperkirakan tahun ini ada 7 gigawatt (GW) listrik yang masuk dan berasal dari energi fosil. Sementara, pertumbuhan konsumsi listrik diperkirakan hanya naik 800 megawatt (MW). Karena itu, melalui skema power wheeling, energi yang berlebih tersebut dapat diserap pihak lain.

“Jadi, kami berharap nanti ada power wheeling meski terbatas,” tutur Eddy.

Adapun skema power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri. Penjualan setrum IPP tersebut menggunakan jaringan distribusi dan transmisi milik PT PLN (Persero) melalui open source, dengan membayar fee yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM. Belakangan, Kementerian ESDM disebut telah mencabut skema tersebut dari RUU EBT.

Skema power wheeling juga ditentang dari sejumlah pihak, salah satunya pakar ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi. Dia mengatakan, penerapan skema power wheeling berpotensi menambah beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan merugikan negara. Pasalnya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan non-organik hingga 50 persen. Penurunan pelanggan ini tidak hanya memperbesar kelebihan pasokan PLN, tapi juga menaikkan harga popkok penyediaan (HPP) listrik.

“Dampaknya dapat membengkakkan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN, sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian,” ujar Fahmy.

Lebih lanjut, Fahmy menilai power wheeling juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen dengan penetapan tarif listrik yang diserahkan kepada mekanisme pasar. Sebab skema ini akan membuat tarif listrik bergantung demand and supply. “Pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan.”

Fahmy menyebut power wheeling sebagai liberalisasi kelistrikan yang melanggar Pasal 33 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Dia juga mengatakan power wheeling merupakan pola unbundling yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.

Pola unbundling itu sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui keputusan Nomor 111/PUU-XIII/2015, MK memutuskan bahwa unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan UUD 1945. Lalu, UU itu diganti dengan UU No. 30 Tahun 2009, dengan menghilangkan pasal unbundling.

Sumber: https://bisnis.tempo.co/read/1688410/inginkan-power-wheeling-tetap-dipertahankan-di-ruu-ebt-anggota-dpr-ada-jalan-tengah-dengan-pemerintah?page_num=2