KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Plh Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Djoko Widajatno menyarankan, Pemerintah tetap menjalankan moratorium ekspor konsentrat tembaga di tengah tahun karena ini merupakan amanat undang-undang.
“Pada Undang-Undang (UU) No 3 Tahun 2020 selain mengamanatkan ada nilai tambah juga konservasi dan eksplorasi untuk menambah cadangan yang akan diolah jadi ada keberlanjutan. Prinsipnya ingin memenuhi Sustainable Development Goals (SDGs),” jelasnya kepada Kontan.co.id, Rabu (11/1).
Djoko tidak menampik bahwa pada awal penerapan pelarangan ekspor konsentrat akan ada dampaknya bagi neraca keuangan negara. Namun, dia bilang pemerintah tentu sudah memikirkan untuk menyeimbangkan antara kepentingan industri dan negara.
Dia mengemukakan, alasan pemerintah mendorong moratorium ekspor konsentrat tembaga karena menurut data dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin), perkembangan industri dasar berjalan sangat lambat.
“Menurut Kemenperin, sudah 10 tahun belakangan pertumbuhannya hanya 10% sehingga industri dasar perlu dipacu dan dipikirkan bersama instansi terkait,” tegasnya.
Djoko menegaskan, pada dasarnya investasi di pertambangan ingin membangun kebutuhan industri dasar berdasarkan komoditas yang dimiliki Indonesia.
Artinya, seluruh produk hilir tambang akan diserap oleh downstream industry yang dibuat di Tanah Air sehingga memberikan nilai tambah dan berdampak pada meningkatnya pendapatan negara. Otomatis hal ini akan membuka lapangan kerja bagi rakyat Indonesia.
Hilirisasi mineral sejatinya sudah tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Di dalam Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) Kementerian Perindustrian, pohon industri tembaga yang akan menghasilkan katoda tembaga akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kendaraan listrik dan jaringan kabel listrik energi baru terbarukan (EBT). Akan tetapi, sementara ini industri hilir offtaker dari katoda tembaga masih terbatas.
Namun menurut Djoko, bagi produk katoda tembaga yang belum terserap ke dalam negeri, pengusaha dapat tetap menjualnya ke luar negeri karena produknya sudah berbentuk bahan mineral olahan.
Asal tahu saja, Indonesia akan mengalami kelebihan pasokan katoda tembaga pada 2025. Smelter domestik akan memproduksi hingga 1,1 juta ton katoda tembaga di yang berasal dari smelter PTS-Gresik, smelter Amman Mineral yang akan efektif di 2024 dan smelter PT Freeport Indonesia (PTFI).
Meski produksi katoda tembaga sudah moncer, permintaan katoda tembaga dari domestik baru akan mencapai 300.000 ton di 2025 sehingga ada kelebihan 70% katoda tembaga.
Meski permintaan ini diproyeksikan akan terus meningkat hingga 2040 menjadi sekitar 1 juta ton, tetap saja akan ada kelebihan katoda dari dalam negeri.
Rachmat Makkasau, Direktur Utama Amman Mineral Nusa Tenggara menjelaskan proyeksi permintaan katoda tembaga di Indonesia sampai 2039 masih di bawah dari total kapasitas produksi yang tersedia. Maka itu, kata Rachmat, tidak ada masalah dari segi pasokan ke dalam negeri.
“Ini menjadi peluang untuk kita terutama industri hilir untuk melihat dan mengembangkan industri turunan,” ujarnya, Selasa (13/12/2022).
Saat ini AMNT sedang membangun smelter katoda tembaga di Benete, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sampai Oktober 2022 realisasi pembangunan sudah mencapai 47% dan diproyeksikan akan beroperasi di akhir 2024 mendatang. Adapun smelter ini akan memproduksi 222.000 katoda tembaga.
Rachmat mengakui, pembeli siaga dari produksi smelternya dari dalam negeri mudah dicari dan tidak ada masalah. Sedangkan untuk katoda tembaga yang tidak bisa terserap di domestik tentu akan diekspor.
“(Kelebihan) itu kan ekspor semua, kemungkinan ya. Yang pasti kalau tidak diserap di dalam negeri kan diekspor,” ujarnya.
Rachmat mengungkapkan, permintaan katoda tembaga di dunia akan terus meningkat seiring dengan agenda transisi energi. Dia mencontohkan untuk pengembangan kendaraan listrik dibutuhkan katoda tembaga 3 kali hingga 5 kali lipat daripada tembaga untuk kendaraan berbahan bakar minyak (BBM).