Tangerang, Beritasatu.com – Di tengah permintaan energi yang terus meningkat, industri hulu migas sebagai penyokong utama dalam pemenuhan kebutuhan tersebut justru menemui tantangan cukup besar yakni transisi energi dan upaya global dalam menekan emisi karbon. Hal ini turut dibahas dalam sesi diskusi CEO Industri Outlook IPA Convex 2023 mengangkat tema “Navigating the Energy Trilemma” yang digelar di ICE BSD, Tangerang, Selasa (25/7/2023).

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menjelaskan posisi Indonesia saat ini menjadi negara importir energi termasuk migas sehingga menjadi prioritas utama adalah mengamankan ketersediaan energi.

“Kita harus memproduksi (migas) untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Pemerintah mau tingkatkan produksi, sehingga kita banyak mengalokasikan biaya investasi di situ (peningkatan produksi),” kata Nicke.

Pertamina pun terus melakukan eksplorasi migas untuk menemukan cadangan baru agar produksi meningkat. Pada saat bersamaan, lanjut Nicke, program dekarbonisasi juga tidak bisa ditawar sebagai komitmen Indonesia untuk mencapai target net zero carbon emission.

Pertamina menjadikan penerapan CCS/CCUS sebagai salah satu fokus dekarbonasi dalam menjalankan kegiatan operasi di hulu migas.

“Dekarbonisasi harus ada melalui CCS/CCUS, dan kita harus eksplorasi blok migas baru untuk tingkatkan produksi,” tegas Nicke.

Sejauh ini, Pertamina memiliki dua program utama dalam mengembangkan CCS/CCUS yakni di lapangan Jatibarang dan lapangan Sukowati. Pekerjaan yang tidak kalah penting menurut Nicke adalah menyeimbangkan prioritas ketahanan energi, keterjangkauan serta kelestarian lingkungan untuk memenuhi kebutuhan energi dan masa depan dekarbonisasi dalam bisnis hulu migas.

Sementara itu, Tan Sri Tengku M Taufik Tengku Kamadjaja Aziz selaku CEO Petronas, mengungkapkan manajemen Petronas fokus pada kondisi energi saat ini yang sangat rentan akan kondisi krisis. Untuk itu perusahaan harus terus mencari sumber daya migas yang baru.

“Saya katakan kepada manajemen cari dan produksi migas dengan bertanggung jawab terhadap lingkungan, tapi tetap harus mengoptimasi biaya. Setiap rencana pembangunan harus mempertimbangkan pengurangan karbon, jadi CCS/CCUS adalah hal yang sangat kritis,” kata Taufik.

Dia berharap kegiatan pencarian cadangan migas tetap ada, karena secara teori, migas tetap dibutuhkan dalam jumlah besar dan justru jumlahnya meningkat di masa depan, tidak hanya untuk transportasi ataupun tenaga listrik namun juga sangat dibutuhkan bagi industri.

“Eksplorasi tidak boleh dianggap mati. Ini bisa jadi kematian prematur. Saat permintaan energi dari berbagai sektor naik, sedangkan proporsi migas itu mulai menurun, artinya kita tetap butuh migas sampai ada sistem baru yang berjalan,” ujarnya.

Mansoor Mohammed Al Hamed selaku CEO Mudadala Energy menyatakan industri migas sudah terbukti menjadi andalan bagi perekonomian suatu negara sehingga perannya di era transisi energi ini jelas tidak akan mudah tergantikan. Terlebih untuk gas yang memiliki emisi karbon lebih rendah jika dibandingkan dengan energi fosil lainnya.

Dia menilai transisi energi dan menjamin ketahanan energi harus berjalan dengan seimbang. Untuk itu penerapan teknologi menjadi sangat penting.

“Hari ini kita tandatangani MoU CCS dengan Pertamina. Ini satu bidang yang sangat penting untuk bisa mempercepat transformasi kami,” tutup Mansoor.

Sumber: Berita Satu