IDXChannel – Langkah pemerintah menerbitkan kebijakan baru terkait bea keluar ekspor mineral logam mendapat tentangan dari PT Freeport Indonesia (PTFI).

Penolakan didasarkan pada potensi kerugian yang bakal harus ditanggung oleh PTFI seiring penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71 Tahun 2023 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar tersebut.

Dalam hitung-hitungan PTFI, penerapan aturan baru tersebut berpotensi mengurangi kredit kas bersih per unit perusahaan sebesar USD0,19 per pon tembaga pada Semester II-2023 ini.

Perhitungan didasarkan pada proyeksi volume penjualan dan perkiraan harga logam saat ini.

“Memang (penerapan kebijakan baru) menumbuhkan kesan adanya ketidakpastian usaha. Padahal, investasi dan usaha di bidang pertambangan itu membutuhkan kepastian hukum dan perpajakan,” ujar Anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sub Komite Tambang dan Mineral, Hendra Sinadia, Kamis (10/8/2023).

Pernyataan Hendra tersebut disampaikan seiring adanya kabar bahwa pihak PTFI bakal melakukan gugatan secara resmi kepada pemerintah terkait aturan soal bea ekspor tersebut.

Meski, pihak PTFI sendiri pada akhirnya telah mengklarifikasi tidak bakal mengajukan gugatan, melainkan sebatas menyampaikan keberatan dan banding terhadap aturan baru yang membebankan biaya dalam proses ekspor.

Menurut Hendra, setidaknya ada tiga kunci dalam menarik datangnya investasi ke Indonesia. ketiganya meliputi ketersediaan cadangan sumber daya alam, kepastian hukum, dan perpajakan.

“Sejauh ini Indonesia punya cadangan mineral yang besar. Tapi kemudian ada dua (kunci) lagi, yaitu soal kepastian hukum dan perpajakan,” tutur Hendra.

Namun yang terjadi, Hendra menjelaskan, seringkali terjadi perubahan aturan secara tiba-tiba, sehingga investor melihatnya sebagai sebuah ketidakpastian hukum.

Sedangkan investasi di sektor tambang secara rata-rata bersifat jangka panjang, sehingga kegamangan aturan semacam itu tidak boleh terjadi.

Dengan pandangan tersebut, Hendra menilai keberatan yang disampaikan PTFI sesungguhnya wajar dan lumrah dilakukan oleh setiap pelaku usaha.

Terlebih, dalam aturan kepabeaan hingga perpajakan, Hendra menyebut telah disediakan mekanisme khusus terkait pengajuan keberatan.

“Jadi (keberatan PTFI) itu memang hal yang lumrah. Itu diatur dalam perundang-undangan dan di Direktorat Jendral Pajak (DJP) itu juga ada layanan pengaduannya. Jika pengusaha melihat ada tarif pajak atau bea keluar yang dianggap memberatkan dan dianggap tidak sesuai dengan kesepakatan, ya mereka bisa mengajukan keberatan,” ungkap Hendra.

Sementara, Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, menilai dalam perjanjian business to busines sangat wajar jika perusahaan mengajukan keberatan kepada mitra bisnisnya.

Keberatan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk membuka dialog, meluruskan atau klarifikasi suatu hal di antara kedua pihak, sehingga didapatkan kejelasan.

Dengan analogi seperti itu, Tauhid juga menilai bahwa keberatan dari pihak PTFI harusnya juga dilihat dan diperlakukan sebagai bentuk upaya permintaan penjelasan dari pihak pemerintah.

“Pihak Freeport mungkin ingin mendapatkan kejelasan mengenai ketentuan-ketentuan yang tidak selaras atau sinkron. Itu bisa saja (dilakukan),” Tauhid, dalam kesempatan terpisah.

Karenanya, dalam merespons permintaan PTFI tersebut, Tauhid menyarankan pemerintah untuk sudah sepatutnya membuka ruang dialog demi menemukan titik temu.

Dalam hal ini, Tauhid mengaku sangat mengapresiasi jika pemerintah bisa terbuka untuk berdiskusi, menerima masukan dan mencari solusi bersama. Pendekatan positif tersebut dianggap Tauhid bakal dapat menjadi contoh baik kepada para investor.

“Apalagi perusahaan-perusahaan tambang itu rata-rata merupakan investor besar dengan nilai investasi yang tidak sedikit, dan juga telah menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar,” tutur Tauhid.

Upaya untuk duduk bersama dan berdiskusi secara positi ini diamini oleh Hendra, yang mengaku dapat memahami posisi pemerintah yang tentu ingin mendapatkan pemasukan bagi negara dengan diterbitkannya aturan baru tersebut.

Namun, di lain pihak, Hendra juga meminta agar pemerintah tidak hanya berffikir satu arah, melainkan juga mempertimbangkan berbagai aspek lainnya.

Hendra menekankan bahwa pemerintah perlu memahami bahwa investasi di bidang tambang seperti Freeport dan lainnya merupakan bentuk investasi yang mahal, jangka panjang dan berisiko tinggi.

“Sehingga perubahan material harus dibahas bersama, karena skemanya bisa berubah dan berdampak panjang, sehingga Freeport itu (sebagai perusahaan terbuka) memiliki keterbukaan informasi juga kepada bursa. (Keberatan) ini sebuah (sikap) keterbukaan juga. Jadi ini juga bentuk keterbukaan informasi. Bukan gugatan,” tegas Hendra. (TSA)

Sumber: IDX Channel