Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengevaluasi formula pembentuk harga batu bara acuan (HBA) menyusul desakan dari pengusaha tambang batu bara yang menguat sejak akhir tahun lalu.
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ing Tri Winarno mengatakan, evaluasi harga acuan itu dilakukan lantaran adanya kesenjangan antara harga patokan batu bara (HPB) domestik dengan harga di indeks internasional.
“Ya harganya tidak sesuai dengan harga yang ada,” kata Tri saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Tri menuturkan, kementeriannya tengah melakukan studi banding ke sejumlah negara dengan basis pasar batu bara yang besar untuk mengkaji lebih lanjut ihwal pembentuk harga batu bara acuan di dalam negeri.
“Kita cek benar apa tidak sih, makanya kita ke India, China untuk sebetulnya seperti apa yang pas seperti itu,” kata dia.
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) meminta pemerintah untuk membenahi formula pembentuk HBA sebelum mengimplementasikan badan pungutan dana kompensasi bagi pemasok dalam negeri.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan, pembenahan faktor pembentuk HBA itu menjadi krusial untuk kelangsungan arus kas perusahaan tambang hingga pemasok batu bara bagi industri dalam negeri mendatang. Apalagi, kata Hendra, harga batu bara di pasar internasional diproyeksikan tetap menguat hingga akhir tahun ini.
“Ketika ini tidak dibenahi akan mengganggu arus kas perusahaan karena akan menjadi beban. Ini mendesak harus dibenahi dulu,” kata Hendra saat dihubungi, Rabu (11/1/2023).
Hendra menerangkan, HBA yang berlaku saat ini tidak lagi mencerminkan harga batu bara di indeks internasional. Dia mengatakan, terjadi kesenjangan indeks yang makin lebar antara Indonesia Coal Index (ICI) dengan Newcastle Export Index (NEX) dan Globalcoal Newcastle Index (GCNC) dua tahun terakhir.
Akibatnya, kata dia, pelaku usaha mesti membayar kewajiban kepada negara dengan angka yang lebih tinggi dari harga HPB dalam perdagangan komoditas di Indonesia.
“Beban kita ini tinggi banget kalau selisih sampai dua kali lipat kan tidak fair,” kata dia.