Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mendorong percepatan revisi dua beleid yang mengatur ihwal kontrak kerja sama atau production sharing contract (PSC) dan fasilitas perpajakan pada industri hulu minyak dan gas (migas) tahun ini.
Dua beleid yang tengah direvisi itu, yakni PP No. 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split dan PP No.27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Noor Arifin Muhammad mengatakan, substansi revisi PP No. 53/2017 berkaitan dengan fasilitas perpajakan untuk kontrak gross split, seperti perluasan masa pemberian fasilitas perpajakan untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) setelah tahap produksi komersial.
“Fasilitas perpajakan tersebut diberikan kepada kontraktor dengan kriteria terdapat investasi, peningkatan produksi, dan lifting serta peningkatan penerimaan negara,” kata Noor saat dihubungi, Rabu (12/7/2023).
Sementara itu, Noor menambahkan, fokus revisi pada PP No. 27/2017 berkaitan dengan batasan jangka waktu bagi KKKS dengan PSC cost recovery untuk mendapatkan fasilitas perpajakan.
“Di mana di PP 27/2017 saat ini, jangka waktu bagi Kontraktor untuk dapat menyesuaikan dengan PP 27/2017 tersebut hanya 6 bulan,” kata dia.
Di sisi lain, revisi PP No.27 Tahun 2017 juga mengarah pada amandemen PSC tanpa jangka waktu dan imbalan domestic market obligation (DMO) hingga 100 persen.
Selain itu, dia menegaskan, revisi dua beleid itu juga akan memasukan ketentuan ihwal pemanfaatan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau CCS/CCUS yang menjadi bagian dari operasi perminyakan.
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal berharap revisi dua beleid itu dapat mengurangi beban perpajakan khusus yang selama ini diterima KKKS yang beroperasi di Tanah Air.
Malahan, kata Moshe, beban pajak yang ditanggung KKKS mencapai 40 persen dari keseluruhan porsi pendapatan yang diterima suatu perusahaan.
“Terus terang pajaknya terlalu tinggi dibandingkan industri lain, kalau dihitung-hitung gross split, cost recovery itu pajaknya bisa 40 persen, kalau bisa ada keringanan memang di situ karena negara lain biasanya tidak ada pajak khusus [migas],” kata Moshe saat dihubungi, Selasa (11/7/2023).
Misalkan, Moshe menuturkan, pajak khusus yang diterapkan pada industri migas di Indonesia berkaitan dengan aktivitas pembagian dividen KKKS yang memiliki induk di luar negeri. Pungutan pajak yang masuk ke dalam kategori branch profit tax itu dinilai mengoreksi pendapatan KKKS asing terbilang signifikan yang ditambah dengan badan usaha atau corporate tax biasa.
“Mau setor atau tidak setor [dividen KKKS asing] itu pajaknya tetap dari pendapatan, padahal kalau mereka tidak setor keluar negeri kan harusnya tidak dipajaki, tapi ini tetap dipajaki, itu harus direvisi banyak yang keberatan di situ,” kata dia.
Sumber: Bisnis Ekonomi