Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih mengevaluasi rencana pembatasan pembangunan smelter nikel baru. Utamanya yakni untuk smelter nikel kelas dua yang menghasilkan feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI).
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan moratorium pembangunan smelter nikel baru berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang menghasilkan produk olahan nikel kelas dua berupa nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi) masih dalam tahap pembahasan.
Menurut Arifin, pemerintah ingin agar aturan ini segera jalan. Mengingat nilai tambah untuk pengolahan nikel kadar tinggi menjadi baja relatif kecil jika dibandingkan dengan turunan produk baterai kendaraan listrik yang sebagian berasal dari bijih nikel kadar rendah.
“Ya RKEF itu sedang dievaluasi. Sedang dievaluasi tunggu ajalah karena kita pengen juga, kalau ini kan nilai tambahnya gak banyak pig iron itu kan,” kata Arifin ditemui di Gedung DPR RI, Senin (21/11/2022).
Seperti diketahui, pemerintah mempunyai target untuk pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral seperti nikel, bauksit, dan lainnya hingga 53 unit. Namun demikian, pemerintah pesimistis pabrik tersebut akan rampung pada 2023 mendatang lantaran hingga 2021 saja smelter yang telah dibangun baru mencapai 21 unit.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif sebelumnya memaparkan, hingga 2021 jumlah smelter yang telah selesai dibangun yakni 21 fasilitas pemurnian. Sementara 32 unit lainnya masih dalam proses pembangunan.
Adapun dari 21 smelter yang sudah beroperasi tersebut, terdapat 15 smelter nikel, 2 smelter bauksit, 1 smelter besi, 2 smelter tembaga, dan 1 smelter mangan.
Pada 2022 ini direncanakan ada tambahan 7 fasilitas pemurnian yang dibangun, sehingga total menjadi 28 fasilitas pemurnian. Di antaranya, 3 smelter nikel, 1 smelter bauksit, 1 smelter timbal, dan 1 smelter seng.
Ini artinya, masih ada 25 smelter lainnya yang masih dalam proses pembangunan pada tahun depan.
“Kita ada 21 smelter masih ada 7 tambahan di tahun ini dan kita harapkan 53 di tahun 2023, nah ini kemungkinan tidak tercapai,” kata Irwandy dalam diskusi secara virtual, Jumat (18/11/2022).
Irwandy pun membeberkan bahwa dalam pengerjaan pembangunan smelter terdapat beberapa tantangan yang saat ini dihadapi, antara lain aspek perizinan (HGB, IMB, IPPKH, tailing/ limbah), pendanaan, pasokan energi (tarif listrik, biaya instalasi), lahan, dan isu lainnya seperti kedatangan alat dan TKA, teknologi.
Padahal, jika 53 smelter tersebut tuntas tepat waktu, ini bisa menjadi pendukung hilirisasi di dalam negeri.
“Ini banyak tantangan yang harus dihadapi masih banyak yang dalam konstruksi yang harus diselesaikan, jika ini selesai ini akan menjadi pendukung hilirisasi. Kesulitannya satu pendanaan, kedua sumber listrik, ketiga perijinan yang kadang kadang lama sekali,” tutupnya.