Kementerian ESDM mengungkapkan, komitmen Jepang untuk membantu upaya transisi energi Indonesia melalui pendanaan Asia Zero Emission Community (AZEC), akan meningkat dari yang sebelumnya hanya US$ 500 juta menjadi miliaran dolar.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Yudo Dwinanda mengatakan, pendanaan AZEC yang pada awalnya hanya US$ 500 juta atau setara dengan Rp 7,6 triliun, dan ke depan nominalnya akan terus bertambah.

“Awalnya pendanaan itu US$ 500 juta, tapi angkanya akan naik terus, kemungkinan tidak resmi bergerak ke arah miliar dolar,” ujarnya dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023, Jakarta, Senin (18/9).

Yudo berharap pendanaan untuk transisi energi Indonesia bisa terus berjalan secara konsisten termasuk AZEC. Tak hanya itu, Indonesia juga tengah menjajaki skema pendanaan lainnya seperti Just Energy Transition Partnership (JETP).

“Ini kami harapkan, kalau bisa konsisten. Kami akan jajaki skema lainnya. Dana publik di Amerika, EU, hingga Jepang. Kami akan dekati semua sumber pendanaan,” kata dia.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menyebutkan, pendanaan dari Jepang terbagi menjadi dua, yaitu di JETP dan AZEC. Namun, untuk JETP, Jepang tidak memberikan dukungan untuk pengembangan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) di Indonesia.

“Untuk yang JETP itu Jepang memang tidak support CCUS, tetapi kalau di AZEC mereka support CCUS. Jadi ada sebagian pendanaan mungkin ke sana,” kata Dadan.

Dadan mengatakan, pendanaan AZEC kemungkinan besar memang akan bertambah karena sponsor utama AZEC adalah Jepang. Sehingga wajar jika pendanaan US$ 500 juta akan ditingkatkan secara signifikan. “Masa cuma US$ 500 juta untuk kelas program yang ada 13 negara disitu,” ujar Dadan.

Sebagai informasi, pendanaan AZEC diluncurkan langsung oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di sela-sela KTT G20 2022. Pendanaan tersebut bertujuan untuk memfasilitasi program transisi energi Indonesia serta memperluas kerja sama dan inisiatif dekarbonisasi publik-swasta.

Sebagai tindak lanjut komitmen Jepang tersebut, sebelumnya Menteri ESDM RI juga telah melakukan pertemuan dengan mitra kerjanya di Tokyo.

Sebanyak 12 nota kesepahaman (MoU) telah ditandatangani dalam pertemuan tersebut. Ini antara lain terkait dengan transisi energi, dekarbonisasi, energi terbarukan, teknologi daur ulang karbon, geothermal, serta green hydrogen dan amonia.

Inisiatif AZEC didasari keyakinan kedua negara bahwa Asia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi global akan menjadi motor penggerak perekonomian dunia sekaligus model dalam mewujudkan transisi energi yang rasional, berkelanjutan, dan berkeadilan dengan tetap mempertimbangkan kondisi nasional yang berbeda.

Indonesia dan Jepang juga meyakini keamanan pasokan, keterjangkauan, dan people-oriented menjadi kunci utama dalam proses transisi energi. Jepang berharap menjadi ekonomi hidrogen terdepan di dunia untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil tradisional yang mencemari lingkungan, seperti batu bara dan minyak.

Untuk itu, Jepang menjanjikan dukungan keuangan dan teknologi di bawah kerangka AZEC. Para anggota AZEC, yaitu Australia, Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Jepang, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, dapat mempertimbangkan untuk membuat rencana induk hidrogen dan amonia di Asia sebagai langkah berikutnya.

Sebagai langkah nyata pertama di bawah AZEC, perusahaan Jepang, termasuk Iwatani Corp dan Electric Power Development, telah sepakat untuk bersama-sama menciptakan rantai pasokan hidrogen pertama Jepang.

Sumber: KATADATA