Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan alasan terhambatnya pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN), terkhusus biodiesel di Indonesia.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo menyebutkan, alasan utama pengembangan biodiesel terhambat walaupun sudah berjalan dua dekade, yakni selisih harga dengan harga indeks pasar (HIP) minyak solar yang tinggi.
“Kendala utama dalam pengembangan BBN khususnya Biodiesel terdapat pada tingginya selisih harga [antara HIP Biodiesel dan HIP minyak solar],” ungkap Edi saat dihubungi Bisnis, Senin (7/11/2022).
Edi menambahkan untuk menutup selisih harga antara HIP Biodiesel dan HIP minyak solar, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sempat memberikan insentif. Hal itupun melecut perkembangan biodiesel pada 2021, sehingga bisa menghemat devisa yang diklaim mencapai Rp66 triliun.
“Sebelumnya, beberapa waktu lalu [2015] BPDPKS menyalurkan insentif untuk menutup selisih kurang antara HIP Minyak Solar dengan HIP Biodiesel, sehingga pemanfaatan Biodiesel sudah berkembang sangat masif di Indonesia pada tahun 2021 disalurkan sekitar 9,3 juta kL dapat menghemat lebih dari Rp66 triliun dengan tidak mengimpor minyak solar,” jelas Edi.
Adapun, menurut Edi selama beberapa bulan terakhir sejak Juli hingga November 2022, biodiesel sudah tidak lagi mendapatkan insentif serupa, seiring HIP dari Biodiesel lebih rendah dibandingkan dengan HIP Minyak Solar.
Sementara itu, Kementerian ESDM telah melakukan uji jalan atau road test penggunaan bahan bakar B40 pada kendaraan bermesin diesel yang diperkirakan berakhir pada akhir November 2022 dengan sisa jarak tempuh 6.000 kilometer.
Hasilnya, uji jalan menggunakan B40 sampai saat ini mobil dapat beroperasi dengan normal dan mulus seperti menggunakan bahan bakar solar biasa. Terbukti tidak terjadi mobil mogok dan juga tidak terjadi blocking pada filter bagian utama.