JAKARTA, KOMPAS.com – Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan, implementasi pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis Solar melalui mampu menekan kasus-kasus penyalahgunaan BBM, seperti .
Dalam acara Talk Highlight Urgensi Pengaturan , Selasa (7/2/2023) Saleh mengatakan, masyarakat perlu mendukung pendataan kendaraan ini agar tidak lagi terjadi penimbunan maupun kecurangan dalam distribusi subsidi energi.
“Dukungan masyarakat sangat penting untuk menjaga agar solar tidak disalahgunakan. Kita masih menemukan, meski sudah jauh berkurang, modus-modus penyalahgunaan BBM seperti penimbunan dan sebagainya. Sebab, gap harga yang dijual untuk konsumsi ke industri dan yang dijual di SPBU untuk konsumen transportasi sangat tinggi,” kata Saleh.
Namun demikian, subsidi pemerintah untuk BBM tetap ada batasnya. Sehingga, siapa saja yang berhak mendapatkannya, diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) 191 tahun 2014.
Saleh menjelaskan, pemberian subsidi ini bertujuan menjaga daya beli masyarakat. Sebagai contoh, pemerintah telah menyesuaikan harga BBM subsidi Solar, dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Padahal keekonomiannya adalah Rp18.000 per liter.
“Konsumennya diatur dalam Perpres 191, siapa yang boleh mengonsumsi BBM subsidi atau solar,” lanjut dia.
Saat ini Pertamina tengah menguji coba pembelian solar bersubsidi dengan menggunakan QR Code. Upaya ini adalah salah satu cara untuk mengendalikan pembelian BBM subsidi dan mencegah terjadinya kebocoran.
Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengatakan, dengan anggaran yang terbatas, maka subsidi energi harus sampai kepada yang berhak, yaitu kalangan tidak mampu dan miskin.
“Subsidi BBM penting, tapi yang lebih penting adalah bagaimana subsidi BBM tepat sasaran, karena sasarannya adalah untuk masyarakat tidak mampu. Inilah mekanisme yang sudah dilakukan BPH Migas dan juga unsur hukum. Lantas regulasi juga yang harus memaksa ada punishment dan reward jika mematuhi,” ujarnya.
Sugeng mengatakan, pengendalian harus dilakukan lantaran pemerintah menggunakan mekanisme terbuka dalam BBM subsidi, sehingga yang disubsidi adalah barang, dalam hal ini BBM, bukan penerima.
“Ada konsekuensi subsidi terhadap barang. Solar nonsubsidi sekarang Rp 18.000 per liter, sementara harga subsidi Rp 6.900 per liter jauh sekali gapnya. Makanya disebut mekanisme pasar yang menyimpang,” ujar Sugeng.
Sugeng berharap, melalui implementasi MyPertamina, pemerintah dapat mendata penerima manfaat , dan bantuan dari negara dapat langsung diterima oleh mereka yang membutuhkan.
“Kalau kita lihat, sebagai bangsa yang besar dan sudah modern, dengan kelengkapan pemerintah mulai dari RT, RW, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, hingga Kementerian menangani langsung, saya kira nanti data akan langsung menjadi valid,” tegas Sugeng.