Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut Indonesia akan menjadi benchmark dalam program pencampuran biodiesel 35% (B35). Bahkan menurut dia, program ini akan lebih progresif dibandingkan negara Brazil dalam implementasi bahan bakar nabati.
“Sehingga tentu Indonesia bisa menjadi contoh bagi KTT G20 mendatang dengan India sebagai tuan rumah berikutnya, ini tidak mudah karena ketergantungan bahan bakar lebih berat,” kata Airlangga dalam ‘Energy Corner Special B35 Implementation’ CNBC Indonesia, Selasa (31/1/2023).
Seperti diketahui Pemerintah Indonesia akan mulai memberlakukan program pencampuran biodiesel 35% (B35) pada bahan bakar minyak (BBM) diesel/solar mulai Rabu, 1 Februari 2023 dengan alokasi mencapai 13,15 juta Kilo Liter (KL). Biodiesel B35 merupakan campuran biodiesel antara bahan bakar nabati (BBN) berbasis minyak kelapa sawit dengan BBM diesel.
Dengan pelaksanaan B35 itu, Indonesia dinilai menjadi negara yang paling konsisten dalam menerapkan energi hijau atau energi baru dan terbarukan (EBT) di dunia.
“Dibandingkan mandatory biodiesel di seluruh dunia, Indonesia merupakan negara yang tingkat pencampurannya konsisten dalam 7 tahun terakhir. Bahkan mencapai 36% dari capaian realisasi energi baru dan terbarukan dalam bauran di tahun 2021,” ungkap Airlangga.
Dia juga berharap target 13,15 juta KL tersebut dapat menjadi penentu harga utama Cure Palm Oil (CPO) dan berdampak pada 4,2 juta petani sawit dan total 16,2 juta pekerja di sektor sawit. Di samping itu, kata dia, program ini juga menjamin ketersediaan minyak dalam negeri tercukupi.
“Kemarin ditingkatkan dari 300 ribu menjadi 450 ribu KL, jadi tentu suplai banyak. Demikian pula tekanan impor ekspor tentu akan mengurangi demand dan akan dikompensasikan dengan B35,” kata dia.
Implementasi kebijakan B35 juga diharapkan dapat menghemat devisa sebesar US$ 10,75 miliar, meningkatkan nilai tambah hilir sawit sebesar Rp 16,76 triliun, dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 34,9 juta ton CO2.