Jakarta, CNBC Indonesia – Harga batu bara jatuh setelah sempat melonjak drastis. Pada perdagangan Selasa (6/6/2023), harga batu bara kontrak Juli di pasar ICE Newcastle ditutup di posisi US$ 139,1 per ton. Harganya jeblok 3,23%.

Pelemahan ini berbanding terbalik dengan hari sebelumnya di mana harga batu bara terbang 7,2%.

Harga batu bara anjlok karena aksi profit taking dan diobralnya batu bara di Eropa. Harga pasir hitam juga melemah sejalan dengan jatuhnya harga komoditas energi lainnya.
Proyeksi membaiknya perekonomian global juga tak mampu membuat harga batu bara menguat. Namun, krisis energi di Bangladesh mampu menahan pelemahan lebih dalam.

Eropa mulai mengobral batu bara karena menumpuknya pasokan serta kekhawatiran akan menurunnya kualitas. Benua Biru telah mengekspor kembali 1,12 juta ton batu bara ke Asia karena pasokan yang menumpuk melalui Pelabuhan Spanyol dan Belanda.

India, Maroko, Senegal, dan China menjadi salah satu tujuan utama. Ekspor ke India menembus 145.000 ton pada April saja.
“Sebagian pasokan sudah menumpuk lebih dari satu tahun sementara storage sangat mahal,” tutur analis pasar dari P Perret Associates Guillaume Perret, dikutip dari Bloomberg.

Eropa mengimpor batu bara besar-besaran pada tahun lalu untuk mengatasi krisis energi serta berkurangnya pasokan gas dari Rusia. Impor mencapai 98,6 juta ton pada 2022, naik drastis dibandingkan sekitar 65 juta ton pada 2021.
Namun, penggunaan batu bara justru turun 11% pada tahun lalu karena cuaca musim dingin yang lebih bersahabat.

Demi menghabiskan pasokan, Eropa kini merugi karena menjual harga batu bara pada saat harga sangat rendah. Harga di Pelabuhan ARA (Amsterdam, Rotterdam, Antwerp) kini hanya berada di kisaran US$ 90 per ton, hanya seperempat dari harga tahun lalu.

Harga batu bara juga melandai karena ambruknya harga komoditas energi lainnya mulai dari gas alam hingga minyak mentah dunia. Ketiga sumber energi tersebut saling bersaing sehingga harganya pun akan saling mempengaruhi.

Harga gas alam Eropa EU Dutch TTF (EUR) sempat terbang 22,3% ke 28,48 euro per mega-watt hour (MWh) pada Senin pekan ini. Namun, harganya ambruk 12,7% kemarin.

Sementara itu, harga minyak baik brent ataupun WTI juga turun sekitar 0,5% setelah sempat melejit pada Senin karena pemangkasan produksi Arab Saudi.

Harga gas alam sempat melonjak karena pasokan dari Amerika Serikat (AS) akan berkurang karena permintaan dari Asia melonjak menyusul suhu yang semakin panas.
Harga gas juga naik karena terminal LNG di Montoir, Prancis, akan tutup hingga 10 Juni sementara pengiriman gas dari Rusia melalui Black Sea ke Turki juga ditangguhkan hingga 13 Juni karena perawatan.

Harga batu bara bahkan tak mampu naik meskipun ada dua faktor positif.

Seperti diketahui, Bank Dunia baru saja merevisi ke atas pertumbuhan global menjadi 2,1% pada 2023. Proyeksi ini lebih tinggi dibandingkan pada Januari lalu yang hanya 1,7%.
Namun, Bank Dunia mengkoreksi ke bawah proyeksi untuk 2024 dari 2,7% menjadi 2,4%.
Membaiknya ekonomi global diharapkan bisa ikut meningkatkan permintaan batu bara.

Sementara itu, krisis energi di Bangladesh terus berlanjut. Pembangkit listrik mereka banyak yang ditutup karena kekurangan bahan bakar sehingga produksi listrik berkurang drastis.

Krisis muncul karena ada persoalan pembayaran akibat keterlambatan Letter of Credit (LC) dengan penyuplai bahan bakar dari China, termasuk gas dan batu bara.

Selain persoalan pembayaran, krisis juga diperparah dengan persoalan cuaca. Permintaan listrik di Bangladesh melonjak tajam pada April tahun ini karena meningkatnya suhu. Bencana kembali datang pada pertengahan Mei saat topan Mocha mengamuk dan memutuskan jaringan pasokan gas alam.

Suhu meningkat tajam pada bulan ini setelah gelombang panas melanda sejumlah wilayah. Permintaan listrik pun melejit hingga 18% Senin kemarin di tengah kekurangan pasokan.

Suhu di ibu kota Dhaka melonjak hingga 38 derajat Celcius awal pekan ini, dari 32 derajat Celcius pada 10 hari sebelumnya.

Badai gelombang panas diperkirakan masih akan berlanjut hingga akhir pekan ini. Kekurangan pasokan listrik kini mengancam kelangsungan industri tekstil Vietnam mulai dari Gap Inc, H&M, dan Zara.

Krisis energi di Bangladesh diperparah dengan anjloknya cadangan devisa (cadev) karena ekspor yang jeblok. Cadev Bangladesh terkuras hingga berada di kisaran US$ 29,8 miliar per Senin kemarin, rekor terendahnya dalam tujuh tahun.
Terkurasnya cadev mengurangi kemampuan Bangladesh untuk mengimpor komoditas energi seperti gas alam dan batu bara.

Sumber: CNBC Indonesia