Australia, salah satu produsen batu bara utama dunia, sedang berencana menetapkan kebijakan agar penambang mencadangkan hingga 10 persen dari produksi untuk pasokan domestik atau domestic market obligation (DMO).
Layaknya kebijakan serupa di Indonesia, DMO batu bara di Australia merupakan bagian dari upaya untuk menekan biaya komoditas energi yang melonjak sejak konflik geopolitik Rusia dan Ukraina pecah di tahun lalu.
Dikutip dari Reuters, Minggu (22/1), Australia berusaha menurunkan biaya rumah tangga dengan membatasi harga gas dan batu bara. Pemerintah New South Wales sedang mencoba untuk meningkatkan pasokan batu bara dalam negeri, yang sebagian besar diekspor.
Pemerintah New South Wales berkata akan mengharuskan penambang batu bara yang saat ini tidak menjual ke pasar domestik untuk mencadangkan antara 7-10 persen dari produksi untuk penggunaan domestik. Skema ini akan berlaku untuk pasokan yang tidak dikontrak.
Kepala eksekutif Whitehaven Coal, Paul Flynn, mengatakan pemerintah belum memberikan banyak detail terkait proposal tersebut. Dia berkata, ada pembicaraan bahwa pemerintah ingin mengisi kekurangan yang diperkirakan antara 3-5 juta ton, setara dengan 3 persen ekspor batu bara negara bagian.
Dampaknya untuk Indonesia
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai kebijakan DMO cukup aneh jika diterapkan di negara liberalis seperti Australia, namun bisa dipahami mengingat harga batu bara global sangat tinggi menggiurkan bagi para penambang.
Fahmy menjelaskan, dampaknya akan positif bagi Indonesia jika Australia resmi menetapkan DMO batu bara sebesar 10 persen. Sejauh ini, Indonesia sudah memperoleh windfall profit dan akses pasar batu bara di Eropa.
Dengan penetapan DMO batu bara 10 persen dari total produksi di Australia, lanjut dia, hal tersebut otomatis akan mengurangi pasokan dunia dan menambah peluang meningkatnya pasar ekspor batu bara Indonesia.
“Kalau benar Australia melakukan DMO 10 persen maka ini punya dampak positif bagi Indonesia karena akan memenuhi peluang pasar yang berkurang sebesar 10 persen,” ujarnya kepada kumparan, Minggu (22/1).
Selain tidak terlalu besar dan signifikan karena hanya 10 persen, Fahmy menuturkan peluang tersebut juga sebenarnya bisa dipenuhi oleh negara produsen batu bara lain selain Indonesia.
Dia juga menambahkan, pemanfaatan peluang ekspor ini juga harus diantisipasi masing-masing produsen dalam negeri untuk bisa bersaing dengan produsen lain agar dapat menggantikan 10 persen pasokan Australia.
“Barangkali dia harus bersaing dengan diskon harga atau ketepatan dalam pengiriman, karena di awal pengiriman batu bara ke Eropa itu pernah terlambat, jangan sampai itu terjadi lagi,” tutur Fahmy.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, menilai kebijakan DMO batu bara Australia tidak akan berdampak besar bagi ekspor Indonesia, karena kualitas batu bara Indonesia dengan Australia umumnya berbeda.
“Kebijakan tersebut mungkin bisa mempertahankan harga batu bara Australia di level yang tetap di atas rata-rata. Karena selain volume DMO, mereka juga ada kebijakan price cap AUD 125, basis 6000 NAR kalau kondisi darurat untuk negara bagian New South Wales dan Queensland,” jelas Hendra.
Dia mengatakan, bagi eksportir Indonesia, kebijakan pemerintah China dan India serta kebijakan DMO Indonesia lebih banyak berpengaruh, apalagi kenaikan produksi dalam negeri diperkirakan akan melebihi pertumbuhan permintaan ekspor.