Sore itu, sekitar 13 warga Desa Sungai Payang berkumpul di Kantor Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Sungai Payang, Kukar, Kaltim. Meninggalkan urusan masing-masing, warga yang terdiri dari dua perwakilan perempuan, tokoh karang taruna, tokoh masyarakat, hingga warga biasa, datang dengan niat untuk mendiskusikan masalah dampak pertambangan yang dialami akibat keberadaan 14 perusahaan tambang dan perkebunan sawit di sekitar tempat tinggalnya.
Bertindak sebagai fasilitator, Buyung Marajo dan kawan-kawan dari Pokja 30 Kaltim, membuka dan memfasilitasi diskusi pada Jumat, 7 Mei 2021 lalu, dengan mendengarkan keluh kesah yang dialami warga berkaitan dengan kegiatan operasional tambang. Pokja-30 merupakan organisasi yang aktif dalam advokasi penggunaan dana publik, pengawasan penerimaan migas, pertambangan, dan kehutanan, juga keterbukaan informasi.
Salah satu warga mengawali cerita mengenai jalan rusak, kurangnya penyerapan tenaga kerja di desa setempat, serta pencemaran air. Setidaknya tiga masalah tersebut dialami warga akibat aktivitas perusahaan tambang dan sawit di Sungai Payang. Diskusi kian menghangat ketika salah satu peserta, sekaligus kepala koperasi di Dusun Donomulyo, menceritakan pengalamannya terkena dampak limbah dari salah satu perusahaan batubara yang beroperasi di desanya, dan ia berharap dari dibukanya forum diskusi ini bisa menampung dan menyampaikan aspirasi masyarakat, sehingga ditemukan solusi bagi warga Dusun Donomulyo. Warga pun pernah mengajukan tuntutan untuk normalisasi sungai, seperti diceritakan Kepala Dusun Donomulyo. Tuntutan ini dihasilkan secara musyawarah kemudian menghasilkan kesepakatan agar dibuat sealing pond di bawah jalan. Berita acara telah dibuat oleh kepala desa, dan sudah diteruskan ke perusahaan tersebut, tetapi sampai detik artikel dituliskan tidak ada respon dari pihak perusahaan. Bahkan, sekarang sudah ada kegiatan perusahaan yang lain lagi, padahal masalah satu perusahaan belum selesai. “Jadi bicara keterlibatan tidak ada sama sekali, kalau dampak, dusun kami paling parah,” ujar kadus menutup ceritanya.
Salah satu perwakilan perempuan dalam diskusi, juga salah satu warga terdampak, khususnya pada kasus lahan, menyampaikan bahwa keluarganya di Kukar memiliki beberapa lahan dan perkebunan di atas lahan tersebut. Pada 2020 kemarin, ada 3 lahan yang ditabrak alias digusur langsung dan belum ada pembayaran dari perusahaan. Luas tanahnya 8 hektar, namun ada warga lain yang menempati lahan tersebut meski tidak memiliki surat malah mendapatkan kompensasi.
Beberapa perusahaan tambang yang berkantor di Tenggarong, sudah ia datangi. Karena punya surat tanah dengan jelas, akhirnya perusahaan bersedia membayar, tetapi uang itu pun dibagi dengan orang-orang yang tidak punya surat. Akhirnya tersisa pembayaran hanya untuk lahan sekitar 3 hektar. Padahal di surat jelas ada batas tanahnya. Lahannya yang kedua pun sama, terletak di Gunung Payang, awalnya memiliki luas 11 hektar, sekitar 3 hektar dibebaskan oleh perusahaan dimaksud tetapi sampai sekarang belum ada pembayaran. “Tidak ada itikad perusahaan untuk bertemu kami. Kami sering ke kepala desa dan sudah dibantu untuk berkomunikasi dengan perusahaan tetapi belum ada tanggapan. Akhirnya datang sendiri tetapi pihak perusahaan tidak ada yang mau menemui kami. “Kami merasa terjajah di kampung sendiri”, ucapnya jengkel. Lahan ketiga, lanjutnya, berkasus dengan perusahaan lain. Meski begitu, perusahaan cukup baik, ketika ia datang langsung ke kantornya, humasnya mau menemui. Setelah itu perusahaan juga datang ke desa, membayar pembebasan lahan secara bulanan walaupun tidak sesuai dengan yang dituntut. “Setidaknya ada tanggung jawab [perusahaan],” ujarnya.
“Persoalan lahan sudah tiga kali terjadi, setidaknya pada kami. Apa seperti ini cara perusahaan yang masuk ke sini untuk merugikan kita? Sampai sekarang kami masih berdaya upaya untuk mendapat ganti rugi, tetapi bagaimana caranya, kami tidak punya surat untuk menuntut ke pengadilan. Di dusun ada banyak warga yang mengalami ini.”
“Tetangga saya ada yang kena limbah, saya ajak, ayo lapor, tapi mereka takut. Akhirnya saya juga diam. Kalau yang punya [lahan] sendiri tidak mau berjuang, bagaimana saya mau berjuang? Ini kasusnya dengan salah satu perusahaan batubara di desa ini,” tambahnya.
Jika bisa berandai-andai, peserta mengharapkan sistem pengaduan atau pengawasan yang memudahkan, ditunjukkan tempat mengadu, ada tanggapan, serta penyelesaian. Tidak asal iya-iya saja, tetapi direalisasikan. “Seperti perbaikan jalan, sampai sudah lupa kami tidak ada juga yang datang,” ungkap peserta gusar.
Sistem pengaduan atau pengawasan yang memudahkan sebenarnya sudah dimiliki oleh Pemerintah RI yaitu SP4N-LAPOR! serta didukung oleh Ombudsman RI, sudah terkoneksi dengan berbagai daerah termasuk Kaltim. Proyek GPSA turut mengenalkan alat bantu TI (teknologi informasi) dan memberikan pelatihan tentang cara memanfaatkan alat bantu TI berupa aplikasi LAPOR! dan ESDM 136. Alat bantu TI yang memudahkan masyarakat untuk mengadu dengan memanfaatkan fitur rahasia dan anonim sehingga masyarakat tidak perlu takut.