Jakarta, CNBC Indonesia – Terminal atau Depo Bahan Bakar Minyak (BBM) Plumpang milik PT Pertamina (Persero) kembali menjadi perhatian publik sejak terjadinya insiden kebakaran pada Jumat (03/03/2023) pukul 20.20 WIB malam.
Sekitar 19 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka akibat kejadian ini.
Menyusul kejadian ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memutuskan untuk memindahkan Terminal BBM ke tanah milik PT Pelindo (Persero) di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara.
Tak hanya itu, Kementerian BUMN pun akhirnya memberhentikan satu direksi PT Pertamina (Persero), yaitu Direktur Penunjang Bisnis Dedi Sunardi.
Terlepas dari insiden tersebut, perlu diketahui bahwa Depo BBM Plumpang nyatanya berperan penting untuk memasok BBM di negeri ini, khususnya DKI Jakarta dan sekitarnya. Apalagi, depo BBM ini sudah beroperasi sejak 1974. Artinya, hampir 50 tahun Terminal BBM Plumpang ini beroperasi.
Selama itu, Depo BBM Plumpang Pertamina ini menyokong suplai BBM di Indonesia sebesar 20% dari kebutuhan BBM harian nasional.
Melansir laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Depo BBM Plumpang ini dibangun di atas lahan seluas 48.352 hektar, dengan kapasitas awal tangki sebesar 60.000 kilo liter (kl) pada 1974. Lalu, pada 1978, kapasitas tangki dinaikkan menjadi 80.000 kl, dan meningkat menjadi 200.000 kl pada 1987.
Angka ini terus bertambah hingga kapasitas penyimpanan BBM di Depo Plumpang saat ini mencapai 324.535 kl.
Sebelum kejadian kebakaran di Depo Plumpang pada Jumat lalu, penyaluran BBM rata-rata dari Depo Plumpang dalam satu bulan terakhir sebesar 17.799 kl per hari. BBM yang disalurkan terdiri dari Biosolar, Pertamax, Pertalite, Pertamina Dex, Pertamax Turbo, dan Dexlite.
Selain itu, Depo Plumpang juga mendapatkan pasokan BBM dari sumber lain melalui kapal laut. Pada Februari 2023 lalu, total penerimaan BBM yang disuplai ke Depo Plumpang dan Tanjung Priok adalah sebesar 491.485 kl.
Salah satu pemasok BBM di Depo Plumpang adalah Terminal BBM Balongan yang menyalurkan melalui pipa sepanjang 210 kilo meter (km).
Untuk diketahui, pada tahun 1970-an, pendirian depo ini tidak terlepas dari situasi oil boom alias lonjakan harga minyak dunia yang membuat Pertamina mendapat “durian runtuh”.
Oil Boom adalah terminologi untuk menyebut besarnya perdagangan minyak suatu negara – salah satunya akibat lonjakan harga minyak dunia – yang membuat negara menjadi untung besar. Dan Indonesia pernah mengalaminya pada tahun 1970-an.
Kala itu, harga minyak melonjak drastis akibat negara Arab melakukan boikot terhadap pasar global. Akibatnya, Indonesia yang kala itu tercatat sebagai net eksportir minyak tiba-tiba mendapatkan permintaan minyak dalam jumlah besar, sehingga membuat pemerintah mendapat rezeki besar.
Rezeki ini kemudian dijadikan sebagai modal pembangunan. Pertamina sendiri pada saat itu turut berkontribusi membantu negara dalam melahirkan industri berat, salah satunya BUMN di industri baja, PT Krakatau Steel. Tak hanya itu, menurut catatan Rhenald Kasali dalam ‘Pertamina on the Move’, Pertamina juga mulai memperluas asetnya.
Pendirian aset baru tersebut untuk menggantikan aset warisan Belanda. Salah satu aset baru tersebut adalah Depo BBM Plumpang.
Depo BBM tersebut dibangun pada 1971 dan beroperasi pada 1974. Bangunan berdiri di Kawasan Plumpang yang saat itu masih didominasi rawa-rawa. Jadi, tidak ada yang menghalangi langkah Pertamina untuk membangun depo BBM di daerah ini.
Barulah ketika Jakarta semakin padat dan masyarakat mulai berdatangan, lahan-lahan kosong pun dibabat untuk tempat tinggal. Ini terjadi sejak akhir tahun 1980-an. Firman Lubis dalam ‘Jakarta 1970-an’ (2018) menyebut, pada era 1980-an itu mulai banyak pohon karet dan rawa-rawa disulap menjadi permukiman, seperti di kawasan Kebayoran, Pondok Indah, termasuk juga kawasan Plumpang, Jakarta Utara.
Di Plumpang, warga perlahan tinggal di sekitar depo secara ilegal. Awalnya, tak ada masalah dengan pemukiman di sana. Namun belakangan, makin ramai warga yang berdatangan dan menjadikan kawasan tersebut sebagai tempat pemukiman. Bahkan, warga setempat justru menyalahkan keberadaan depo yang dinilai tidak cocok dibangun di sana. Ini menjadi suatu keanehan, sebab depo sudah ada sebelum warga berdatangan dan membangun hunian tempat tinggal.
Salah satu masalah tersebut yang tercatat dalam sejarah adalah banjir. Mengutip Restu Gunawan dalam ‘Gagalnya Sistem Kanal’ (2010), pada 1980-an depo tersebut pernah dilanda banjir hingga membuat wilayah Jakarta kekurangan pasokan bahan bakar minyak.
Namun, masalah ini tak lagi jadi soal karena banjir hanya sesaat. Sejak itu, permasalahan yang selalu muncul adalah persoalan legalitas tempat tinggal warga. Namun, ada pula masalah seperti kebakaran yang sempat terjadi pada 2009.
Mengutip CNN Indonesia, warga di sana secara hukum pada mulanya dinyatakan ilegal. Mereka tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Setelah bertahun-tahun, mereka baru mendapatkan legitimasi pencatatan sipil dari negara usai Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta. Mengutip detikcom, pada 2012 saat Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, warga setempat diberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Selanjutnya, di era Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Anies Baswedan, Pemprov DKI menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk membantu pengurusan layanan umum bagi warga yang sudah tercatat kependudukannya berdasar KTP yang diterbitkan era Jokowi. IMB tersebut adalah IMB kawasan yang mencakup enam RW di tiga kelurahan.
Usai kasus kebakaran depo BBM pada Jumat lalu, “rebutan” lahan antara depo dan warga mencapai akhir. Pemerintah melalui Menteri BUMN akhirnya resmi menyatakan akan memindahkan depo yang telah berdiri hampir 50 tahun itu ke tempat lain, yakni tanah milik Pelindo, di daerah Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.